Bareksa.com - Berikut sejumlah berita dan informasi terkait investasi dan ekonomi yang disarikan dari sejumlah media dan keterbukaan informasi, Jumat 12 Juni 2020.
BPJS Kesehatan
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengakui adanya tren penurunan kelas pada Peserta Bukan Penerima Upah (PBPU) atau peserta mandiri. Jumlah peserta yang turun kelas ini selama periode Desember 2019 hingga Mei 2020.
Namun demikian, jumlah penurunan peserta tersebut menurutnya tidak sebesar yang kerap diberitakan. Meski begitu, jumlah persentase penurunan kelas PBPU lebih tinggi jika dibandingkan dengan tahun lalu.
"Dari data yang kami dapatkan bahwa tren peserta turun kelas sekitar 7,54 persen. Jadi tidak seperti yang diberitakan bisa sampai 50 persen," ujar Fachmi saat rapat kerja dengan Komisi IX DPR seperti dikutip Kompas.com, Kamis (11/6/2020).
Tren penurunan kelas peserta tersebut diakibatkan oleh kenaikan tarif iuran pada 1 Juli mendatang, sesuai dengan aturan yang terdapat dalam Perpres Nomor 64 tahun 2020. Adapun dalam paparannya Fachmi menjelaskan, jumlah peserta PBPU per Mei 2020 terdapat 30,68 juta peserta.
Dengan tren penurunan sebesar 7,54 persen maka hingga akhir tahun terdapat 2,3 juta peserta yang berpotensi turun kelas baik dari kelas I menjadi kelas II, ataupun dari kelas II menjadi kelas III.
Proyeksi penurunan tersebut lebih besar jika dibandingkan dengan realisasi peserta mandiri yang turun kelas hingga akhir 2019 yang sebesar 3,41 persen atau 1,03 juta orang dari total jumlah peserta mandiri yang mencapai 30,34 juta orang. Adapun realisasi hingga akhir Mei 2020, sebanyak sebanyak 40.350 peserta mandiri sudah turun kelas.
Rinciannya, 9.331 peserta turun dari kelas I ke II, 11.738 peserta turun dari kelas I ke III, dan 38.383 peserta turun dari kelas II ke III. Jika dipersentasekan, jumlah peserta yang turun kelas di Mei 2020 itu sekitar 0,16 persen dari total jumlah peserta PBPU.
Meski demikian, tahun ini juga diproyeksi bakal ada kenaikan kelas oleh peserta mandiri meski persentasenya hanya 0,54 persen atau sekitar 165.672 peserta. Jumlah tersebut lebih banyak dari realisasi peserta yang naik kelas tahun lalu, yang hanya 2.250 peserta atau 0,01 persen.
"Kemudian terjadi perubahan naik kelas, tergantung behaviour, tren dari kelas II naik kelas I, dari kelas III ke kelas I dari kelas III ke II naik 0,54 persen," tambahnya.
PNS
Pemerintah tetap berkomitmen untuk melakukan pencegahan penyebaran virus korona di berbagai tempat. Termasuk di tempat kerja. Seperti diketahui setelah dikeluarkan kebijakan New Normal masyarakat antusias untuk langsung beraktivitas.
Alhasil penumpukan di berbagai moda transportasi tidak terhindarkan. Atas masalah itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan RB) Tjahjo Kumolo memastikan bahwa pihaknya akan mengeluarkan sebuah peraturan.
"Akan keluar Surat Edaran Menpan RB soal shif kerja PNS," kata Tjahjo Kumulo kepada Kontan.co.id, Jumat (12/6). Ada beberapa usulan yang tengah digodok, yakni, Pertama, shift 1 dari pukul 07.30 WIB -15.00 WIB, shift 2 dari 10.00 WIB - 17.30 WIB.
Kedua, jika usulan sistem shift ini disetujui, sistem kerja akan diatur secara terpisah, yakni untuk pegawai ASN dengan SE Menteri PANRB, untuk pegawai BUMN dengan SE Menteri BUMN, untuk pegawai swasta dengan SE Menteri Ketenagakerjaan.
Ketiga, sebelum diterbitkan dan diberlakukan SE tentang Sistem Kerja Shift, perlu dilakukan survei dan simulasi yang lebih cermat.
Diaspora Bond
Pemerintah tengah gencar menerbitkan surat berharga negara (SBN) sebagai salah satu cara dalam menggalang dana untuk menutup defisit anggaran tahun ini. Selain mengadakan lelang SBN secara rutin tiap pekan, pemerintah juga masih punya empat kali penerbitan SBN ritel hingga akhir tahun nanti.
Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Pembiayaan dan Pengelolaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan (Kemenkeu), juga tengah menyiapkan instrumen pembiayaan baru yaitu obligasi diaspora atau diaspora bond pada November 2020 mendatang.
Direktur Surat Utang Negara (SUN) DJPPR Kemenkeu Deni Ridwan seperti dikutip Kontan.co.id, pernah mengatakan diaspora bond akan terbit dalam denominasi rupiah, memiliki tenor tiga tahun, bentuknya fixed rate, tanpa early redemption, dan transaksinya dilakukan melalui sistem e-SBN.
Jika melihat tenornya yang tiga tahun, serta memiliki denominasi rupiah dan bentuknya fixed rate, struktur diaspora bond ini tidak banyak berbeda dengan ORI017. Banyak kalangan yang memprediksi besaran kupon ORI017 akan berada di kisaran 6,75 persen - 7 persen, sementara kupon ORI017 sudah diumumkan sebesar 6,40 persen per tahun.
Head of Economics Research Pefindo Fikri C Permana menyebut dengan kriteria yang mirip dengan ORI017, ditambah dengan denominasinya yang rupiah bukan dolar Amerika Serikat, ia melihat kupon diaspora bond akan berbasis kupon domestik SUN.
"Merujuk SUN 3 tahun yang berada di sekitar 6.36 persen saat ini, harusnya kupon di antara rentang 6,75 persen - 7 persen sudah menarik. Terlebih bila dibandingkan deposito 1 tahun untuk bank BUKU IV yang hanya berada di angka 5,5 persen,” jelas Fikri ketika dihubungi Kontan.co.id, Kamis (11/9).
Sementara Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas Ramdhan Ario Maruto menilai atraktifnya diaspora bond akan bergantung dengan perkembangan ekonomi ke depan. Pasalnya, besaran kupon 6,75 persen - 7 persen yang termasuk atraktif saat ini, bisa saja akan tidak terlalu menarik ketika diaspora bond benar diluncurkan pada November nanti.
"Dari segi bunga acuan dan kondisi ekonomi dunia kan masih bisa berubah. Selain itu ada kemungkinan investor yang diaspora ini akan membandingkan besaran kuponnya dengan instrumen obligasi di luar sana," ujar Ramdhan.
Ramdhan menilai pemerintah harus jeli dalam menambahkan premium spread agar diaspora bond nantinya lebih menarik. Namun, salah satu keunggulan diaspora bond menurut Ramdhan adalah dari segi pajak yang jauh lebih murah dan punya tema penjualan, dalam hal ini membantu penanganan virus corona. Ini menjadi nilai tambah karena bisa membuat investor punya ikatan.
Sementara Fikri menilai salah satu yang membuat diaspora bond kurang menarik adalah syarat untradable. Dengan syarat tersebut, artinya likuiditas individu investor yang membeli relatif harus lebih longgar karena investor harus hold to maturity.
"Karenanya, agar hal tersebut tidak mengurangi minat, mungkin kupon bisa disesuaikan. Misalnya dengan menggunakan syarat nilai kupon minimum adalah kupon saat penawaran (layaknya ORI lain) atau menaikkan yield sedikit di atas SUN 3 tahun, mungkin di sekitar 7 persen," imbuh Fikri.
Tiket Kereta
PT Kereta Api Indonesia (KAI) mengoperasikan kembali kereta api jarak jauh reguler mulai Jumat 12 Juni 2020 ini. Operasional kereta api jarak jauh reguler sempat berhenti sementara akibat pembatasan sosial berskala besar (PSBB).
PT KAI akan mengoperasikan 14 kereta api jarak jauh dan 23 kereta api lokal untuk masyarakat umum. Namun jangan kaget bila harga tiket kereta api jarak jauh kini lebih mahal dibandingkan sebelum pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Harga tiket kereta api jarak jauh naik akibat pembatasan jumlah penumpang maksimal 70 persen.
Direktur Utama KAI Didiek Hartantyo menyebut, PT KAI melakukan kenaikan tarif tiket dikarenakan okupansi yang disyaratkan ini tidak mencapai 100 persen. Kenaikan ini dihitung secara proporsional. Biasanya KAI menghitung biaya operasi dan margin dengan membaginya dengan jumlah penumpang.
"Kami akan naikan secara proporsional, artinya biaya operasi kami plus margin yang biasanya kami bagi dengan jumlah penumpang okupansi 100 persen maka pembaginya saat ini 70 persen," paparnya saat konferensi pers secara virtual, Kamis (11/6/2020).
PT KAI klaim telah mendapat persetujuan dari Kementerian Perhubungan (Kemenhub) untuk menaikkan tarif tiket kereta api jarak jauh. Jadi, untuk tarif yang dipesan penumpang saat ini sudah merupakan tarif yang baru setelah kenaikan.
"Kami sudah diskusikan dengan Dirjen KA dan kami sudah diperbolehkan. Sehingga tarif tiket yang muncul di aplikasi tarif tiket yang sudah mengalami penyesuaian," katanya.
Tiket kereta api terbagi menjadi dua yakni komersial dan PSO. Untuk komersial KAI bisa menaikkan tiket namun dalam koridor yang ditetapkan Kemenhub. Sementara untuk PSO harus mendapatkan izin dari pemerintah. "Untuk komersial kita sesuaikan secara proporsional sesuai okupansi sementara untuk PSO kami akan berkonsultasi dengan pemerintah," ujar Didiek.
Saat ini KAI hanya mampu mengumpulkan pendapatan sebesar Rp400 juta per hari khusus angkutan penumpang sejak masa pandemi Covid-19. Pendapatan PT KAI dari angkutan penumpang tersebut mengalami penurunan hampir 93 persen. Tercatat, pendapatan angkutan penumpang hanya 7 persen dari hari-hari normal.
"Pendapatan harian angkutan penumpang pada kondisi normal sebesar Rp22 miliar, sedangkan pada akhir pekan mencapai Rp26 miliar - Rp28 miliar. Hal tersebut benar-benar memberikan dampak yang luar biasa kepada perseroan," papar Didiek.
Sebelumnya PT KAI menyebut, seiring pandemi corona, pendapatan KAI anjlok. Jika Januari 2020, total pendapatan dari penumpang Rp39 miliar, pada April 2020 sebesar Rp 32 miliar. Pendapatan ini membuat arus kas KAI defisit karena pendapatan dari penumpang tergerus hingga 93 persen.
(hm)