Bareksa.com - Berikut adalah perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Rabu, 6 Mei 2020 :
Otoritas Jasa Keuangan
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) meminta perbankan mempercepat transmisi kebijakan-kebijakan stimulus untuk menghadapi pelemahan ekonomi yang merupakan dampak dari wabah virus corona. Kebijakan stimulus itu dikeluarkan oleh pemerintah, OJK dan Bank Indonesia. Kini, OJK akan segera menerbitkan POJK Ketentuan Kehati-hatian dalam rangka Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan countercyclical dari dampak penyebaran virus corona atau Covid-19.
Asal tahu saja, stimulus perbankan yang dikeluarkan regulator melalui penyesuaian suku bunga kredit akan memberikan ketersediaan likuiditas menjadi cukup besar. Dengan begitu bisa dimanfaatkan perbankan untuk menyalurkan kredit yang lebih murah serta bisa menggerakkan sektor riil.
“Pelonggaran giro wajib minimum (GWM) yang memberikan banyak likuiditas pada sektor perbankan sehingga penurunan suku bunga diharapkan bisa ditransmisikan dalam pricing suku bunga kredit yang lebih murah,” kata Wimboh dilansir Kontan.co.id (6/5/2020).
Menurutnya jika perbankan menjalankan fungsi transmisi kebijakan stimulus yang telah dikeluarkan Pemerintah, OJK dan BI itu, maka diharapkan dapat meminimalkan dampak buruk pelambatan perekonomian akibat penyebaran virus corona. “Dari pertemuan tadi para bankir menyampaikan tentu akan ada tindak lanjut dari perbankan,” kata Wimboh.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana mengatakan bahwa stimulus perekonomian yang disiapkan OJK akan segera terbit produk hukumnya dalam bentuk POJK Ketentuan Kehati-hatian dalam rangka Stimulus Perekonomian Nasional sebagai kebijakan countercyclical dari dampak penyebaran virus korona atau Covid-19.
POJK ini berlaku bagi bank umum konvensional, bank umum syariah, bank unit usaha syariah, BPR dan BPR Syariah, yang dalam pelaksanaan POJK ini bank wajib memperhatikan prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam ketentuan OJK.
Restrukturisasi Kredit
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat hingga 24 April 2020 terdapat 74 bank yang telah merealisasikan implementasi restrukturisasi kredit kepada 1.019.334 debitur terdampak Covid-19, dengan nilai kredit yang direstrukturisasi mencapai Rp 207,22 triliun. Dari 101 bank yang telah menyatakan bersedia untuk melakukan restrukturisasi kredit, baru 74 bank yang mengimplementasikan restrukturisasi.
Jika dirinci, debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang kreditnya telah direstrukturisasi sebanyak 819.923 debitur dan non-UMKM 199.411 debitur, dengan total realisasi baki debet mencapai Rp 207,22 triliun.
"Kalau kita lihat dari 101 bank, 74 bank sudah mengimplementasikan restrukturisasi, dan ada bank-bank yang masih mempelajari skemanya. Ini angkanya terus bergerak, setiap minggu bank lapor ke kami. Dari 74 bank sudah restrukturisasi 819 ribu UMKM dan 199 ribu non-UMKM," ujar Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Heru Kristiyana dilansir Investor.id (5/5/2020).
Heru menyebut, perbankan proaktif mendata debiturnya yang terdampak dan proaktif mengikuti langkah-langkah sesuai Peraturan OJK (POJK) Nomor 11 Tahun 2020, terkait restrukturisasi kepada debitur terdampak Covid-19.
"Kami terus mencermati kondisi perbankan saat pandemi Covid-19, terlebih setelah mengeluarkan POJK 11. Sektor yang terdampak diberikan stimulus berupa restrukturisasi kredit," paparnya.
Di sisi lain, Heru menjelaskan, risiko kredit (loan at risk) industri perbankan juga menjadi perhatian di tengah pandemi virus corona Covid-19. Sebab loan at risk perbankan nasional mulai meningkat, karena kemampuan pembayaran kewajiban debitur terganggu akibat dampak pandemi Covid-19.
"Loan at risk jadi perhatian, semua NPL ditambah kredit yang direstrukturisasi itu jadi loan at risk. Ini perlu dicermati, kami harap ini bisa diatasi dan bisa melandai kurvanya, sehingga bisa dimitigasi dengan baik," ujar Heru.
Meski begitu, pihaknya melihat ada perbaikan untuk rasio kredit bermasalah (non performing loan/NPL) perbankan hingga kuartal I 2020. OJK mencatat NPL gross pada Maret 2020 sedikit membaik di posisi 2,77 persen, dibandingkan bulan Februari 2,79 persen.
Vaksin Corona
Menteri Riset dan Teknologi/ Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional, Bambang Brodjonegoro mengatakan, vaksin Covid-19 kemungkinan bisa ditemukan pada awal tahun 2021. Hal itu disampaikan Bambang dalam rapat kerja gabungan rapat gabungan yang digelar DPR, Selasa (5/5/2020).
Bambang mengaku mendapat informasi tersebut dari Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. "Mengenai waktunya masih sulit diperkirakan meskipun Eijkman mengatakan, kemungkinan paling cepat 1 tahun kira-kira dari bulan Maret kemarin. Mudah-mudahan awal tahun depan sudah ada berita baik," kata Bambang.
Kendati demikian, Bambang mengatakan, pemerintah juga bekerja sama dengan pihak luar yang juga mengembangkan vaksin Covid-19 agar mempercepat ditemukannya vaksin tersebut. "Sehingga harapannya vaksi bisa ditemukan lebih cepat dan bisa langsung efektif terutama virus yang beredar di Indonesia," ujar dia.
Bambang mengatakan, Lembaga Biomolekuler Eijkman juga menyampaikan tiga analisa gen atau whole genome sequencing (WGS) melalui gisaid.org sebagai upaya melihat karakter virus corona yang beredar di Indonesia.
Pertumbuhan Ekonomi
Badan Pusat Statistik (BPS) RI mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia tumbuh 2,97 persen pada kuartal I 2020. Kepala Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardhana memprediksi perekonomian pada triwulan selanjutnya bakal jauh lebih rendah dibandingkan realisasi awal tahun ini.
"Ada kemungkinan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2020 akan mencatatkan kontraksi jika dibandingkan dengan kuartal II 2019 (YoY)," katanya Selasa, 5 Mei 2020 dilansir Bisnis.com.
Dia menuturkan perlambatan ekonomi pada triwulan I 2020 terjadi seiring imbas wabah virus Corona (Covid-19) dari negara lain. Selain itu, mundurnya musim panen, yang biasanya terjadi pada kuartal I menjadi kuartal II, membuat perekonomian tidak maksimal. Padahal, sektor pertanian berkontribusi hingga 0,3 persen dari total produk domestik bruto (PDB).
Dari sisi produksi, sektor otomotif masih mengalami pertumbuhan 4,22 persen (YoY). Sementara itu, konsumsi semen di level domestik berkontraksi 4,16 persen (YoY). Menurutnya, kondisi tersebut mengindikasikan pelemahan daya beli di dalam negeri.
"Indikator tersebut bisa menjadi alasan bagi Bank Indonesia untuk memangkas suku bunga acuan sebanyak 2 kali 25bps hingga akhir 2020," katanya.
Kepala Ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan perlambatan konsumsi rumah tangga dari 5,02 persen pada kuartal I 2019 menjadi 2,84 persen (YoY) pada kuartal I 2020 merupakan konsekuensi dari implementasi pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk mengurangi dampak negatif Covid-19.
Dia memprediksi PDB pada triwulan II 2020 akan lebih rendah dibandingkan periode saat ini. Penerapan PSBB untuk mencegah pandemi Covid-19 telah membatasi aktivitas sosial dan perjalanan masyarakat.
Surat Berharga Negara (SBN)
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menemukan pengelolaan utang pemerintah pusat masih kurang efektif untuk menjamin biaya minimal, terkendalinya risiko, dan kesinambungan fiskal. Ketua BPK RI Agung Firman Sampurna mengatakan hal ini antara lain karena pengelolaan pemerintah pusat belum didukung oleh peraturan terkait dengan manajemen risiko keuangan negara dan penerapan analisis sustainabilitas fiskal yang kommprehensif.
"Hal ini berpotensi menimbulkan gangguan atas keberlangsung fiskal di masa mendatang," kata Agung, Selasa (5/5/2020) dilansir Bisnis.com.
Secara lebih rinci, BPK menemukan strategi pengembangan pasar SBN domestik masih belum meningkatkan likuiditas pasar SBN secara efektif. Hal ini terutama karena pemerintah tidak memiliki indikator yang jelas atas kebijakan pengembangan pasar SBN.
Upaya pendalaman pasar SBN dan mitigasi risiko sudden reversal dengan perluasan basis investor domestik juga masih belum sepenuhnya efektif. Akhirnya, upaya pengembangan pasar SBN untuk mendapatkan imbal yang rendah menjadi tidak terukur dan tidak terarah. Imbal hasil yang ditawarkan oleh SBN pun akhirnya harus lebih tinggi dibandingkan negara lain.
Selain itu, pengelolaan utang pemerintah pusat masih belum menerapkan analisis sustainabilitas fiskal dan analisis sustainabilitas utang secara komprehensif. Hal ini terutama karna pemerintah belum memiliki dasar hukum pelaksanaan manajemen risiko keuangan yang memadai dan bahkan belum memiliki analisis sustainabilitas fiskal jangka panjang yang memadai.
Pemerintah belum menyusun secara khusus terkait analisis sustainabilitas utang sehingga pertumbuhan utang tidak selaras dengan pertumbuhan penerimaan negara. Rasio utang terhadap PDB masih di bawah 60 persen, tetapi menurut BPK, banyak rasio-rasio lain yang meleset antara lain rasio debt service to income yang menembus 35 persen pada 2018, rasio interest to income yang melampaui 10 persen sejak 2015, dan rasio debt stock to income yang menembus 150 persen sejak 2013.
Hal ini bisa menimbulkan pengambilan keputusan yang tidak berlandaskan pada pertimbangan risiko yang komprehensif dan berpotensi menggangu keberlangsungan fiskal ke depan.
(*)