Bareksa.com - Pandemi virus corona Covid-19 tidak hanya berdampak pada sektor kesehatan masyarakat, tetapi juga ekonomi global. Pandangan mengenai ekonomi ke depan ini juga berpengaruh terhadap kinerja aset investasi di pasar keuangan.
Investor yang memiliki aset investasi di pasar keuangan pun menanyakan, separah apa dampak pandemi ini dan kapan akan berakhir?
Sejujurnya, tidak ada yang bisa memastikan kapan pandemi ini berakhir. Maka dari itu, tidak ada yang bisa memprediksi juga secara pasti separah apa dampak yang ditimbulkan dari penyebaran wabah virus corona ini.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang menjadi acuan pasar modal Indonesia, sejak awal tahun telah anjlok 26,61 persen ke level 4.531 pada penutupan Jumat, 3 April 2020. Namun, jangan sedih karena kita tidak sendiri.
Secara year to date (awal tahun hingga 3 April 2020), Strait Times di Singapura juga sudah turun 25,86 persen, Hang Seng di Hong Kong turun 17,57 persen, Nikkei di Jepang anjlok 24,67 persen dan Kospi di Korea Selatan turun 21,49 persen.
Serupa, Dow Jones di Amerika Serikat merosot 24,97 persen, DAX di Jerman anjlok 27,99 persen, dan FTSE di Inggris juga turun 28,01 persen sejak awal tahun hingga 3 April 2020.
Kinerja Bursa Global YTD 3 April 2020
Sumber: Bursa Efek Indonesia, diolah Bareksa.com
Penurunan dalam pada bursa-bursa global terjadi paling besar dalam periode bulan Maret. Akan tetapi, kinerja bursa China yang terlihat dari Shanghai Stock Exchange sudah menunjukkan penurunan yang melandai. Penurunan SSE hanya 4,5 persen dalam bulan Maret saja.
McKinsey & Company, sebuah perusahaan konsultan manajemen multinasional, dalam risetnya memperlihatkan bahwa ekonomi di China saat ini sudah mulai bangkit pasca pelonggaran lockdown (penguncian wilayah). Sejumlah perusahaan sudah kembali berjalan dan aktivitas hampir berjalan normal.
Riset McKinsey’s Global Economics Intelligence (GEI) menunjukkan sebelumnya ketika China menjadi pusat penyebaran wabah, pada Januari dan Februari, ekonomi China mengalami tekanan, dengan ekspor menyusut 17 persen dibandingkan dengan 2019. Sebaliknya, data Eropa dan Amerika Serikat masih positif, karena belum terdampak wabah ini.
Sementara itu, di Eropa, pertumbuhan tipis di awal 2020 terpaksa terhenti karena perusahaan besar menghentikan operasi dan memecat sebagian pekerjanya. Indikator ekonomi India seperti yang ditampilkan dalam laporan GEI masih positif, tapi bersiap untuk anjlok dalam karena seluruh negara sudah diinstruksikan untuk tinggal di rumah sejak 25 Maret.
Di tengah pandemi dan respons kebijakan yang bergerak cepat, semakin sulit untuk memperkirakan pertumbuhan ekonomi.
Organisasi untuk Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD), misalnya, membatalkan rilis Maret indikator utama komposit berwawasan ke depan. Prakiraan pada periode ini harus dipandang dengan skeptisisme yang kuat.
Moody's Investors Service, salah satu lembaga paling dihormati, memangkas estimasi pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) 2020 untuk India menjadi 5,3 persen pada 17 Maret karena efek yang diharapkan dari pandemi. Sepuluh hari kemudian, Moody's memotong estimasi menjadi 2,5 persen.
McKinsey Global Institute telah mengambil pendekatan yang berbeda, mengembangkan skenario yang membantu mengkonseptualisasikan jalan pandemi dan jalur potensial untuk kesehatan publik dan pemulihan ekonomi. Skenario mengkonsolidasikan asumsi ke dalam kisaran perkiraan dampak PDB dari penguncian pada konsumsi dan kegiatan ekonomi.
Ada 9 skenario yang dibuat McKinsey, yang menampilkan dampak penyebaran virus berdasarkan respon di bidang kesehatan dan kebijakan ekonomi. Respon bidang kesehatan dibagi menjadi tiga level: pengendalian yang cepat dan efektif terhadap penyebaran virus (2-3 bulan), respon efektif tetapi virus kembali datang (beberapa bulan), intervensi langkah kesehatan yang gagal (cukup lama hingga vaksin ditemukan).
Skenario Dampak & Pemulihan Ekonomi dari Krisis Covid-19
Sumber: McKinsey & Company
Kemudian, efektifitas kebijakan ekonomi juga dibagi menjadi tiga: intervensi yang tidak efektif, intervensi yang sebagian efektif, intervensi yang efektif.
Dari tiga kondisi respon kesehatan dikombinasikan dengan tiga kondisi kebijakan ekonomi, lahirlah 9 skenario dampak dan pemulihan ekonomi pasca pandemi Covid-19. Tiap skenario menampilkan PDB (GDP) dalam axis vertikal dan waktu dalam axis horizontal.
Skenario terbaik adalah ketika virus bisa diatasi dan pertumbuhan ekonomi kembali kuat, yang menunjukkan grafik berbentuk mirip huruf V (kanan atas). Sementara itu, skenario terburuk adalah ketika pandemi makin parah, perlambatan berkepanjangan dan ekonomi tidak pulih sehingga grafik berbentuk seperti huruf L (kiri bawah).
Langkah Stimulus
Melengkapi langkah untuk menghambat penyebaran virus, pemerintah dan bank sentral negara-negara di dunia telah mengambil kebijakan ekonomi dengan memitigasi tekanan yang makin kuat. Pasar keuangan telah menunjukkan respon positif tetapi masih sensitif untuk berfluktuasi seiring dengan perkembangan di bidang medis dan politik.
Banyak negara maju mengumumkan program stimulus untuk menjaga keberlangsungan ekonomi selama isolasi (lockdown), yang terbesar datang dari Amerika Serikat dengan nilai lebih dari US$2 triliun. Bank sentral Eropa (ECB) mengumumkan pelonggaran kuantitatif senilai EUR870 miiliar.
Bank sentral China (PBC) telah mengambil langkah untuk memasok sistem perbankan dengan tambahan RMB550 miliar likuiditas. Dewan bank sentral AS (The Fed) menurunkan suku bunga acuan mendekati nol (0,00 hingga 0,25 persen) dan mengumumkan quantitative easing senilai US$700 miliar.
Sementara itu, Pemerintah Indonesia juga tidak ketinggalan memberikan stimulus untuk mengantisipasi perlambatan ekonomi. Seperti diberitakan sebelumnya, Presiden Joko Widodo mengumumkan anggaran sebesar Rp405 triliun untuk mengatasi Covid-19.
Tabel Indikator Ekonomi dan Proyeksi Menurut Skenario Dampak Covid-19
Sumber : Kementerian Keuangan
Pemerintah juga telah merumuskan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan atau dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan atau Stabilitas Sistem Keuangan.
Dalam Perppu tersebut, Bank Indonesia memiliki kesempatan bisa membeli SUN dan atau SBSN di pasar perdana. Perppu 1/2020 sendiri tertanggal atau diteken Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020.
Dampak dari penerapan stimulus ekonomi diharapkan bisa positif pada perekonomian, tetapi tidak bisa instan. Maka dari itu, investor perlu mengatur strategi agar momentum ini bisa menjadi kesempatan untuk mengambil potensi yang menguntungkan dalam jangka panjang.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.