Bareksa.com - Isu pandemi COVID-19 akibat virus corona telah menekan pasar keuangan secara global. Wabah yang juga disebabkan virus corona sebelumnya juga pernah terjadi ketika penyebaran penyakit SARS dan MERS.
Banyak yang menyangka pandemi COVID-19 (corona virus disease 2019) kali ini bisa memberikan dampak di pasar keuangan seperti kedua wabah sebelumnya. SARS (severe acute respiratory syndrome) pertama kali mewabah di China pada tahun 2002, sementara MERS (Middle-East respiratory syndrome) pertama kali muncul di Timur Tengah pada tahun 2012.
Dari segi ekonomi secara makro, bagaimana kondisi saat ini? Benarkah lebih buruk dibandingkan dengan kondisi pada 2002 atau 2012? Berikut kompilasi data yang diolah Bareksa.
Pertumbuhan ekonomi 2020 diperkirakan melambat menjadi di bawah 5 persen seperti proyeksi dalam APBN 2020. Bank Indonesia memperkirakan ekonomi Indonesia bisa terkena dampak dari perlambatan global dan akibat COVID-19, dan merevisi proyeksi pertumbuhan menjadi di kisaran 4,6 persen.
Yang menarik, kondisi di saat ini adalah inflasi per Februari 2020 masih sangat rendah, di 2,98 persen secara tahunan. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan inflasi 2002 yang mencapai 10,03 persen dan 4,45 persen pada 2012.
Nilai tukar rupiah saat ini sudah mulai melemah terhadap dolar Amerika Serikat mencapai Rp16.600 per US$ pada 23 Maret 2020. Depresiasi rupiah saat ini lebih karena faktor ekonomi global yang melemah sehingga membuat dolar AS semakin kuat.
Sementara itu, pada 2002 rupiah justru mengalami penguatan terhadap dolar AS sedangkan pada 2012, rupiah terdepresiasi sekitar 4,5 persen.
Tabel Perbandingan Indikator Ekonomi 2020, 2012, dan 2002
Sumber: Kompilasi Bareksa
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), yang menjadi acuan pasar modal, saat ini masih sangat volatil. Per 23 Maret 2020, IHSG sempat anjlok menyentuh level yang mirip dengan 8 tahun lalu.
Tingkat kredit macet (NPL gross) saat ini di level 2,7 persen, mirip di tahun 2012 dan masih di bawah batas 5 persen. Akan tetapi, kredit macet pada 2002 terlihat sangat parah, mencapai 10,2 persen.
Saat ini, suku bunga acuan Bank Indonesia masih terjaga rendah di 4,75 persen per Februari 2020. Sementara di 2012, suku bunga BI Rate 5,75 persen dan di 2002 mencapai 14 persen (SBI 3 bulan).
Total utang luar negeri per Januari 2020 mencapai US$410 miliar. Rasio utang pemerintah Februari 2020 terhadap PDB sebesar 30 persen, tidak jauh berbeda dengan 2012 tetapi jauh lebih rendah dibandingkan pada 2002.
Akan tetapi, per Februari 2020, cadangan devisa terbilang masing cukup kuat US$130,4 miliar, atau sebesar 3,15 kali utang luar negeri. Berbeda dengan rasio di 2012 yang hanya 1,13 kali dan 2,35 kali di 2002.
Yang lebih melegakan lagi, saat ini Indonesia telah mendapat peringkat layak investasi (investment grade) dari lembaga internasional S&P, Fitch dan Moody's. Namun, pada dua masa sebelumnya, peringkat utang Indonesia masih belum dianggap layak investasi.
***
Ingin berinvestasi aman di reksadana yang diawasi OJK?
- Daftar jadi nasabah, klik tautan ini
- Beli reksadana, klik tautan ini
- Pilih reksadana, klik tautan ini
- Belajar reksadana, klik untuk gabung di Komunitas Bareksa Fund Academy. GRATIS
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui reksadana mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami prospektus sebelum memutuskan untuk berinvestasi melalui reksadana.