Berita Hari Ini : Penyebab ICBI Volatile, OJK Klarifikasi Bocornya Data SLIK

Bareksa • 06 Feb 2020

an image
Sejumlah kendaraan bermotor melintas di antara deretan gedung bertingkat di kawasan Jalan Sudirman, Jakarta, Rabu (5/2/2020). Badan Pusat Statistik mencatat realisasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di sepanjang tahun 2019 hanya tumbuh 5,02 persen, sementara di tahun 2018 sebesar 5,17 persen. (ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/wsj)

Pembentukan sovereign wealth fund diproses, ada 9 UU dalam omnibus law perpajakan

Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di isu ekonomi, pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Kamis, 6 Februari 2020 :

ICBI

Pergerakan Indonesia Composite Bond Index (ICBI) tercatat cukup volatile dalam sepekan terakhir. Hal itu disinyalir karena munculnya kekhawatiran investor yang membuat pelaku pasar cenderung bersikap risk averse atau menghindari risiko.

Mengutip laman PT Penilai Harga Efek Indonesia (IBPA), diketahui ICBI pada perdagangan Rabu (5/2) ditutup turun 0,04 persen di level 281,69. Angka tersebut sedikit menanjak setelah sempat menyentuh level 280,68 pada Senin (3/2).

Head of Economic Research Pefindo, Fikri C Permana mengatakan pergerakan ICBI yang volatile dikarenakan adanya kekhawatiran investor, seiring terjadinya invertered antara US$ treasury 3 months dan US$ treasury 10 years. Akibatnya, pelaku pasar cenderung menghindar dan mendorong capital flight.

"Untungnya sejak Selasa (4/2) hal tersebut (volatile) sudah tidak terjadi, sehingga ketakutan investor global mulai berkurang," jelas Fikri kepada Kontan, Rabu (5/2).

Selain itu, Fikri menilai ketakutan sektor riil saat ini juga cenderung berkurang seiring telah dicobanya serum anti-virus corona. Untuk itu, prediksinya dengan kemungkinan pelonggaran kebijakan moneter, indeks ICBI masih bisa rally ke depannya.

Apalagi, seiring kemungkinan bahwa yield akan bergerak menuju level yang lebih rendah lagi ke depan. Ditambah, sentimen dari dalam negeri seperti sikap kehati-hatian dari pemerintah dalam menjaga defisit APBN, khususnya primary balance bakal turut menjadi sentimen positif bagi pasar.

"Ini akan sangat-sangat membantu dalam memberikan kepercayaan pasar terhadap prospek Surat Utang Negara (SUN)," tegasnya.

Fikri menilai volatilitas harian pada ICBI masih akan terjadi, tergantung pada berbagai faktor perekonomian global dan domestik yang berkembang. Termasuk, pada pergerakan US Treasury maupun pergerakan nilai tukar rupiah.

Dengan kondisi tersebut, Fikri memperkirakan yield SUN 10 tahun diperkirakan bakal menyentuh level 6,5 persen atau bahkan lebih rendah di akhir tahun ini.

OJK

Otoritas Jasa Keuangan atau OJK angkat suara terkait kasus pembobolan rekening wartawan senior Ilham Bintang. Sebab, disebut-sebut pembobolan rekening itu berawal dari bocornya data Sistem Laporan Informasi Keuangan (SLIK) milik OJK.

"OJK menegaskan SLIK merupakan sistem pelaporan dari LJK (Lembaga Jasa Keuangan) kepada OJK yang berisi data fasilitas pinjaman debitor dan bukan data simpanan nasabah," kata juru bicara OJK Sekar Putih Djarot, Rabu (5/2/2020). Ia melanjutkan, "OJK akan membantu pihak kepolisian untuk dapat segera mengungkap kasus ini".

Sebelumnya, Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus, resmi mengumumkan komplotan yang membobol rekening Ilham Bintang ini terdiri dari 8 orang. Mereka mengakibatkan kerugian yang dialami Ilham Bintang hingga Rp300 juta.

Saat itulah, disinggung kebocoran data SLIK milik OJK. Salah satu tersangka, disebutkan menjual data tersebut kepada tersangka lainnya.

SWF

Pemerintah dalam proses membentuk Sovereign Wealth Fund (SWF) atau Badan Usaha Pengelola Investasi Negara yang akan menampung dana asing yang masuk atau foreign direct investment (FDI) sehingga bisa dimanfaatkan untuk kepentingan investasi dalam negeri.

Wakil Menteri BUMN, Kartika Wirjoatmodjo menjelaskan konsep SWF yang direncanakan akan dimasukkan dalam paket undang-undang Omnibus Law.

Bentuk SWF ini yakni 'sui generis' (frasa latin yang berarti dari jenisnya sendiri, atau unik) dan bisa juga berbentuk seperti LPEI (Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia atau Indonesia Eximbank), yang jelas bukan Badan Layanan Umum (BLU).

"Semacam LPEI. Bukan BLU. Sebenarnya secara legal basis lebih di (kewenangan) Kemenkeu, kita (Kementerian BUMN) lebih memberikan keahlian dari sisi framework bisnisnya, legalitas di Kemenkeu," kata Kartika usai Mandiri Investment Forum 2020, di Jakarta, Rabu (5/2/2020).

Dari sisi pendanaan masih akan dibahas bersama dengan Kementerian Keuangan, BUMN dan juga DPR. "Dana bisa macam-macam, bisa cash bisa dari aset BUMN, itu kita lihat dari regulasi. Minggu ini kan mau masuk regulasinya setelah itu kita lihat pembahasannya," imbuhnya.

Untuk arah investasi, ia mmenegaskan, arahnya adalah investasi di dalam negeri. "Ke dalam dong, kan tujuannya katalis investasi dalam negeri. tidak crowding out," lanjutnya.

Dalam Pertemuan Tahunan Industri Jasa Keuangan, Kamis (16/1/2020), Presiden Jokowi mengatakan pembentukan SWF ditargetkan dapat menyedot dana minimal US$20 miliar atau sekitar Rp272 triliun (asumsi kurs Rp13.00 per dolar AS) untuk masuk ke pasar keuangan Indonesia.

"Begitu itu keluar, kita akan ada inflow minimal US$20 miliar. Bukan rupiah, tetapi dolar AS," kata Kepala Negara.

SWF adalah adalah kolam dana (pooled fund) milik pemerintah atau negara yang digunakan untuk berbagai kepentingan negara. Sumber dananya bermacam-macam, tergantung karakteristik negara yang bersangkutan.

Omnibus Law Perpajakan

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) telah menyelesaikan rancangan undang-undang (RUU) ketentuan umum dan fasilitas perpajakan untuk penguatan perekonomian atau RUU omnibus law perpajakan. Beleid sapu jagad perpajakan ini segera dibahas dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebab sudah menjadi daftar RUU program legislasi (Prolegnas) 2020.

Berdasarkan naskah akademik RUU omnibus law perpajakan yang dihimpun Kontan.co.id, secara substansi mencakup sembilan undang-undang, yaitu:

Pertama, Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Dalam UU KUP, Kemenkeu menitik beratkan pada pembahasan terkait kebijakan penyesuaian atau penurunan atas sanksi administratif perpajakan dalam rangka meningkatkan kepatuhan wajib pajak secara sukarela (voluntary compliance). Kemudian, kebijakan terkait pemajakan transaksi elektronik.

Kedua, UU Pajak Penghasilan (PPh, mencakup aspek penurunan tarif PPh Badan, penurunan tarif PPh badan bagi wajib pajak (WP) Badan Dalam Negeri yang berbentuk perseroan terbuka, pembebasan PPh atas dividen yang berasal dari dalam negeri dan luar negeri, subjek pajak orang pribadi, dan fasilitas perpajakan.

Ketiga, UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN). UU PPN dalam RUU omnibus law perpajakan mencakup aspek pengkreditan pajak masukan sebelum melakukan penyerahan terutang PPN dan pengaturan faktur pajak yang dapat dikreditkan.

Keempat, UU Kepabeanan. Meliputi aspek pengenaan sanksi administratif berupa denda, pengenaan sanksi administratif berupa bunga, dan pengenaan imbalan bunga.

Kelima, UU Cukai. UU ini merangkul aspek pengenaan sanksi administratif berupa denda, pengenaan sanksi administratif berupa bunga, dan pengenaan imbalan bunga.

Keenam, UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) yang dinilai belum memberikan pengaturan secara spesifik mengenai sanksi dalam hal platform asing, tidak melaksanakan kewajiban perpajakan sesuai ketentuan perundang-undangan di bidang perpajakan. "Dengan demikian, diperlukan muatan pengaturan tentang penunjukan platform asing sebagai pemungut dan penyetor PPN, PPh, dan bea masuk, diperlukan suatu pengaturan mengenai sanksi dalam hal platform asing tidak melaksanakan kewajiban sebagai pemungut dan penyetor PPN, PPh, dan bea masuk," seperti tertulis dalam naskah Akademik RUU omnibus law perpajakan.

Ketujuh, UU Penanaman Modal. Di dalam  UU Penanaman Modal akan diatur lebih dalam soal fasilitas terkait. Sebab, pengaturan fasilitas penanaman modal dalam beleid sebelumnya tidak terdapat dalam UU Perpajakan. Oleh karenanya, Kemenkeu menimbang perlu ada pengaturan dalam tingkat undang-undang, khususnya UU Perpajakan, mengenai fasilitas-fasilitas yang telah ada, yang diharapkan dapat meningkatkan penanaman modal di Indonesia.

Kedelapan, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD). Pemerintah menimbang diperlukan koherensi antara diskresi pemerintah daerah dengan kebijakan fiskal nasional yang dirumuskan oleh pemerintah pusat. Ini untuk menjamin efisiensi dan efektivitas arah pembangunan nasional yang mengintegrasikan kepentingan daerah secara menyeluruh dan dirumuskan dalam Peraturan Kepala Daerah.

Kesembilan, UU Pemerintah Daerah. Kemenkeu menimbang dengan adanya pengaturan baru mengenai evaluasi rancangan peraturan daerah tentang pajak daerah dan retribusi daerah, kewenangan untuk melakukan evaluasi terhadap rancangan pajak daerah dan retribusi daerah tidak sebatas koordinasi antara menteri dalam negeri dengan menteri keuangan, baik untuk rancangan peraturan daerah provinsi maupun kabupaten/kota.

(AM)