Bareksa.com - Berikut ini adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Rabu, 2 Oktober 2019.
Rupiah
Stimulus moneter Bank Indonesia (BI) bernama pemangkasan suku bunga tidak lagi menopang pergerakan rupiah. Mata uang garuda kembali loyo di hadapan dollar Amerika Serikat (AS). Bahkan kemarin, kurs rupiah kembali menembus level psikologis Rp 14.200 per dollar AS. Selasa (1/10/2019), nilai tukar rupiah melemah 0,14 persen jadi Rp14.216 per dollar AS.
Sepekan terakhir, rupiah sudah turun 0,7 persen. Para analis sepakat, stabilitas keamanan nasional yang memburuk akibat aksi unjuk rasa di Jakarta dan sejumlah daerah menjadi salah satu penyebab rupiah melemah. "Faktor geopolitik dalam negeri yang masih panas menghambat penguatan rupiah," kata Ekonom Pefi ndo Fikri C Permana dikutip Kontan.
Padahal, menurut Fikri, tren bunga turun di Indonesia serta Amerika Serikat seharusnya menarik investor asing masuk. "Spread yield US treasury dan surat utang negara (SUN) menjadi makin lebar dan memberi kesempatan inflow masuk," kata dia. Tapi pada kenyataannya, dana asing terus keluar dari pasar saham. Dalam sebulan terakhir, investor asing mencatatkan jual bersih Rp7,76 triliun. Tiga bulan sejak BI memangkas suku bunga acuan, asing membukukan jual bersih Rp20,24 triliun.
Utang Korporasi
Melambatnya perekonomian global menimbulkan potensi gagal bayar (default) utang bagi korporasi di kawasan Asia Pasifik (Apac). Hal ini menjadi tambahan risiko, yang patut diwaspadai. Potensi default korporasi ini juga tertuju pada Indonesia. Bahkan, sentimen tersebut telah menjadi sorotan setelah muncul kabar gagal bayar obligasi yang menimpa perusahaan tekstil dalam negeri; Duniatex Group. Nah, hasil stress-test yang dilakukan Moody’s Investor Service, mengungkap bahwa India dan Indonesia menjadi negara yang paling rentan mengalami penurunan kapasitas pembayaran kembali utang korporasi.
Penilaian tersebut berdasarkan pada hasil simulasi pendapatan sebelum pajak, bunga, depresiasi, dan amortisasi (EBITDA) di perusahaan-perusahaan mengalami penurunan sebesar 25 persen. Dengan kondisi itu, "Rasio utang terhadap EBITDA di kedua negara akan melebihi 4 dengan Interest Coverage Ratio (ICR) di bawah 1," tulis Rebaca Tan, Asisten Wakil Presiden dan Analis Moody's dalam laporan berjudul Risks from Leveraged Corporates Grow as Macroeconomic Conditions Worsen yang dikutip Kontan.
Pindah Ibu Kota
Rencana pemindahan ibu kota negara, dari Jakarta ke wilayah antara Kabupaten Kutai Kartanegara dengan Kabupaten Paser Penajam Utara, Provinsi Kalimantan Timur, bukanlah sebuah rencana yang ‘ujug-ujug’ atau tiba-tiba. Tetapi sudah dilakukan kajian sejak tahun 2017. Demikian disampaikan oleh Ketua Tim Komunikasi Ibu kota Negara (IKN)/Sekretaris Menteri PPN/Bappenas Hirmawan Hariyoga Djojokusumo dalam paparannya pada acara Forum Tematik Bakohumas, yang mengangkat tema “Urgensi Pemindahan Ibu kota Negara.
Hirmawan menjelaskan, dalam melakukan kajian, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) tidak sendirian, tapi bekerja sama dengan Kementerian PUPR, Kementerian ATR/BPN, Kementerian LHK, Badan Geologi, Kementerian ESDM, dan Badan Informasi Geospasial (BIG). “Prosesnya lumayan panjang, sampai akhirnya Presiden memindahkan Jakarta ke Kalimantan Timur,” kata Hirmawan.
LinkAja
Guna meningkatkan transaksi, PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) sebagai pemegang izin uang elektronik LinkAja menggandeng PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Kerja sama ini agar LinkAja bisa menjadi alat pembayaran tiket bagi pengguna KRL Commuter Line. Pada Selasa (1/10/2019), PT Kereta Commuter Indonesia dan LinkAja mengadakan uji coba layanan pembayaran tiket Commuter Line dengan menggunakan aplikasi LinkAja. Layanan ini nantinya dapat digunakan di seluruh stasiun KRL Commuter Line.
Seperti dikutip Kontan, Direktur Utama LinkAja Danu Wicaksana mengatakan, penggunaan LinkAja di moda transportasi publik merupakan inovasi terbaru dalam memberikan pelayanan terbaik kepada para pengguna setia. "Hari ini kami senang sekali karena berhasil melakukan penggunaan uji coba di KRL Commuter Line dengan lancar. Secara paralel kami akan terus berkonsultasi dengan Bank Indonesia selaku regulator, untuk memastikan solusi inovatif ini dapat segera digunakan oleh masyarakat luas, tentunya dalam koridor peraturan yang berlaku,” ujar Danu.
Sampai dengan saat ini, secara teknis telah tersedia 200 gate elektronik di 80 stasiun yang telah dilengkapi dengan scanner milik KCI untuk menerima transaksi LinkAja. Selanjutnya, KCI akan terus menambah jumlah gate elektronik ini hingga mencapai 400 gate.
BPJS Kesehatan
Pemerintah memangkas penerima bantuan iuran BPJS Kesehatan karena dinilai sudah mampu membayar sendiri, meninggal dunia, dan indentitas ganda. Penerima bantuan dipangkas sebanyak Sebanyak 4,68 juta peserta. Namun, terdapat tambahan peserta penerima bantuan iuran (PBI) sebanyak 4,66 juta yang baru didaftarkan.
Dikutip Bisnis Indonesia, Deputi Direksi Bidang Kepesertaan BPJS Kesehatan Bona Evita menyampaikan, hal itu berdasarkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) yang diubah melalui Keputusan Menteri Sosial No.109/HUK/2019 tentang Perubahan Data Peserta Penerima Bantuan Iuran Jaminan Kesehatan Tahun 2019 Tahap Kedelapan. Surat ini diterima oleh BPJS Kesehatan pada akhir pekan lalu, Jumat (27/9/2019) dan berlaku pada 1 Oktober 2019.
Penonaktifan tersebut dilakukan karena beberapa sebab di antaranya tidak lagi masuk dalam DTKS, sudah meninggal, sudah mampu bekerja, atau memiliki kartu identitas ganda. Dari perubahan tersebut terdapat selisih 17.281 jiwa. Namun, perubahan ini tidak akan mengubah kuota PBI APBN pada 2019 yang jumlahnya mencapai 96,8 juta jiwa. “Bagi peserta yang tidak didaftarkan kembali, maka penjaminan layanan kesehatan tidak dapat dijamin oleh BPJS. Informasi ini dapat diakses melalui kanal-kanal yang sudah disediakan oleh BPJS agar peserta bisa mendaftar sebagai peserta mandiri,” katanya.
P2P Lending
Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menargetkan penyaluran pinjaman fintech peer to peer (P2P) lending sepanjang 2019 bisa mencapai Rp40 triliun. Kendati demikian, berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Juli 2019, akumulasi pinjaman P2P lending mencapai Rp49,79 triliun. Nilai ini tumbuh 119,69 persen secara year to date dari Desember 2018 senilai Rp22,66 triliun. Melihat pencapaian ini, asosiasi tidak merevisi target pinjaman. Dikutip Kontan, Ketua Harian AFPI Kuseryansyah bilang pencapaian tersebut merupakan akumulasi penyaluran pinjaman P2P lending sejak 2016.
“Itu kan akumulatif, sejak awal tahun sampai sekarang belum mencapai Rp40 triliun. Tahun lalu, di 2018 kita Rp22,66 triliun, sekarang kan per Juli Rp 2019 senilai Rp49,79 triliun,” ujar Kusersyansyah beberapa waktu lalu. Lanjutnya, artinya sejak awal tahun hingga tujuh bulan pertama 2019, industri P2P lending sudah menyalurkan pinjaman sekitar Rp27,13 triliun. Artinya sampai akhir tahun untuk mencapai target masih perlu penyaluran dana sekitar Rp12,87 triliun. “Sampai akhir tahun bisa kekejar target tersebut. Kita tidak revisi target,” tambah Kusersyansyah.
(hm)