Bareksa.com - Otoritas Jasa Keuangan, Bank Indonesia dan Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) akan menyelenggarakan Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 pada 23-24 September 2019 di Jakarta Convention Centre (JCC). Gelaran bertema Innovation for Inclusion ini juga didukung Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) dan Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI).
Penyelenggaran Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 ini merupakan upaya regulator dalam hal ini OJK dan Bank Indonesia, yang didukung AFTECH untuk lebih mendorong industri fintech berkembang di Tanah Air dan semakin berperan dalam peningkatan inklusi keuangan masyarakat.
Gubernur Bank Indonesia, Perry Warjiyo, mengatakan acara ini merupakan kolaborasi antara BI, OJK, dan AFTECH. Dengan peserta sekitar 5500, dalam dua hari ini akan ada sekitar 23 breakout soason yang akan membahas berbagai aspek terkait fintech.
"Ini adalah wujud komitmen bersama antara regulator yakni pemerintah, BI, OJK, dan pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Fintech, serta masyarakat pemerhati maupun yang sangat interest untuk mengembangkan ekonomi dan keuangan digital," ujar Perry, usai pembukaan Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta Convention Centre, Jakarta (23/9/2019).
Menurut Perry, pertama, acara ini bertemakan bagaimana ekonomi dan keuangan digital di Indonesia bisa mendorong ekonomi nasional, inklusi keuangan dan menjadi salah satu masa depan sumber pertumbuhan ekonomi Indonesia.
"Itu adalah tema besarnya, sehingga banyak dibahas dari faktor kebijakan, apakah pemerintah, BI, OJK, dan dunia perbankan, fintech maupun e-commerce. Ekosistem ini yang akan banyak dikembangkan dan dibicarakan dalam summiit expo ini," ungkapnya.
Kedua, dari sisi bank Indonesia, kata Perry, BI sangat berkomitmen untuk memajukan ekonomi dan keuangan digital di Indonesia khususnya guna meningkatkan inklusi keuangan dan inklusi ekonomi. Upaya itu agar masyarakat yang belum tersentuh dunia keuangan bisa mendapatkan akses dunia keuangan.
Begitu juga inklusi ekonomi, bagaimana ekonomi dan keuangan digital bisa mengembangkan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) maupun berbagai sektor ekonomi, sehingga inklusi keuangan dan ekonominya bisa meningkat.
Perry mengatakan mengenai inklusi keuangan, BI telah banyak membantu pemerintah untuk penyaluran bantuan sosial. Tahun ini penyaluran bantuan sosial ditargetkan kepada 15,6 juta keluarga dengan elektronifikasi. Transaksi keuangan daerah juga mulai dikembangkan menggunakan elektronifikasi.
"Jadi pendapatan asli daerah, restoran, atau toko, bisa menggunakan instrumen pembayaran, kemudian dihubungkan dengan fintech dan dunia perbankan," kata Perry.
QRIS
Perry menjelaskan Bank Indonesia juga sudah meluncurkan QR Indonesia Standard (QRIS) yang akan sering dikampanyekan untuk mempercepat inklusi keuangan dan ekonomi. Fokus kampanye bagaimana penggunaan QRIS banyak digunakan di dua segmen utama, perguruan tinggi, mahasiswa lebih banyak pakai QRIS dan dunia pasar tradisional maupun UMKM.
"Pasar-pasar tradisional kita kampanyekan agar menggunakan QRIS dihubungkan dengan merchant. Dihubungkan dengan fintech, perbankan, sehingga itu mempercepat inklusi ekonomi dan keuangan di Indonesia. Itu yang terus kita lakukan dan BI terus mendorong menuju ke situ," ujarnya.
Menurut Perry, visi Indonesia untuk sistem pembayaran pada 2025 adalah bagaimana sistem pembayaran menggambarkan ekonomi dan keuangan digital secara end to end, mendorong digital banking melalui open banking, mendorong kerjasamana fintech dengan bank umum, serta inovasi stabilisasi hingga cross border.
"BI juga telah mengubah pendekatan sandbox, yang selama ini regulatory approach menjadi development approach," ungkap Perry.
JIka selama ini BI hanya menunggu startup yang mengajukan izin, khususnya di sistem pembayaran, namun menurut Perry, nantinya melalui visi sistem pembayaran 2025, maka BI menggunakan development aproach.
"Artinya kita bergandengan tangan dengan pemerintah, OJK, asosiasi dan dunia usaha, untuk mengembangkan startup secara bersama. apakah itu startup untuk UKM, pasar tradisional, operasi keuangan daerah, open banking, atau melalui fintech," Perry memaparkan.
Dalam prosesnya nanti, kata Perry, ketika startup siap mengcreate bisnis, maka saat itu baru diregulasi yang sesuai. Jika regulasi terkait sistem pembayaran, maka oleh BI. Adapun jika regulasi terkait jasa keuangan, seperti P2P lending, crowd funding, dan lainnya oleh OJK.
"Di open banking kami sudah bekerja sama dengan perbankan, bagaimana perbankan mempercepat pelayanan, servis jasa keuangan. Sekarang banyak bank menawarkan dan menjangkau masyarakat, nanti kami akan menghubungan open banking dan fintech," Perry menambahkan.
(*)