Bareksa.com - Berikut adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia, Rabu, 18 September 2019 :
PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI)
Perseroan melihat prospek bisnis wealth management masih besar. Terbukti dari dana kelolaan (fund under management/FUM) perseroan yang masih berhasil tumbuh dua digit.
Direktur Bisnis dan Jaringan Bank Mandiri Hery Gunardi, mengungkapkan total dana kelolaan bisnis wealth management Bank Mandiri mencapai Rp202 triliun per Agustus 2019. Capaian itu tumbuh 17 persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu Rp173 triliun.Dari produk-produk yang dimiliki perseroan, pasar obligasi masih tercatat tumbuh paling tokcer.
"Hingga saat ini, pasar obligasi Indonesia masih dalam tren positif sepanjang tahun ini sehingga minat nasabah untuk berinvestasi di obligasi masih tinggi," kata Hery dikutip Kontan.
Dari bisnis pengelolaan dana nasabah kaya ini, Bank Mandiri telah meraup pendapatan berbasis komisi atau fee based income sebesar Rp297 miliar per Agustus. Itu juga tercatat tumbuh 17 persen dari pendapatan komisi pada periode yang sama tahun lalu Rp252 miliar.
Hery melihat potensi bisnis wealth management masih sangat besar karena berdasarkan laporan Capgemini pertumbuhan nasabah kaya (HNWI) di Indonesia cukup tinggi yakni 13 persen per tahun. Itu lebih tinggi dibandingkan rata-rata pertumbuhan nasabah kaya di dunia yang hanya 9,5 persen.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK)
Lembaga pembiayaan menjadi industri yang paling banyak diadukan konsumen ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Lembaga ini bahkan mengalahkan jumlah pengaduan dari sektor perbankan.
Laporan triwulan II 2019 OJK yang dikutip Kontan menyatakan, layanan konsumen OJK menerima 28.434 layanan yang terdiri dari 6.366 layanan penerimaan informasi (laporan), 21.938 layanan pemberian informasi (pertanyaan) dan 130 layanan pengaduan.
Dari 21.938 pertanyaan, terdapat 132 layanan yang diindikasikan sebagai pengaduan. Secara umum, penagihan dari debt collect mendominasi keluhan nasabah di industri keuangan. Menyusul permintaan informasi debitur, kesulitan klaim asuransi, restrukturisasi kredit atau pembiayaan dan legalitas lembaga jasa keuangan (LJK) dan produk.
Meski demikian, pengaduan lebih banyak berasal dari lembaga pembiayaan yaitu 41,54 persen dari total pengaduan. Selanjutnya pengaduan perbankan 33,85 persen, perasuransian 18,46 persen, dana pensiun 3,85 persen dan Non-LJK 1,54 persen.
Deputi Komisioner Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Sarjito membenarkan bahwa lembaga pembiayaan banyak dikeluhkan konsumen, seperti penagihan dari pihak ketiga yang dikontrak multifinance. Biasanya, multifinance mengerahkan debt collector atau mata elang untuk menagih kredit.
“Lebih ke penagihan, misalnya nasabah multifinance dicegat di jalan. Namanya juga mata elang, mereka ada di mana-mana untuk menagih,” kata Sarjito.
Perdagangan Emas
Kementerian Perdagangan melalui Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) menerbitkan peraturan untuk menjamin kepastian hukum dan kepastian berusaha perdagangan fisik emas digital di bursa Indonesia. Aturan itu tertuang dalam Peraturan Bappebti Nomor 4 Tahun 2019 tentang Ketentuan Teknis Penyelenggaraan Pasar Fisik Emas Digital Di Bursa Berjangka.
“Pengaturan perdagangan emas digital bertujuan untuk mencegah penggunaan perdagangan fisik emas digital untuk tujuan ilegal, seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Selain itu, untuk menciptakan sarana berinvestasi yang mudah, aman, dan terjangkau bagi masyarakat,” kata Kepala Bappebti Tjahya Widayanti dikutip Bisnis Indonesia.
Dasar hukum penerbitan peraturan tersebut adalah Undang-Undang No. 32 Tahun 1997 tentang Perdagangan Berjangka Komoditi sebagaimana telah diubah menjadi Undang-undang No. 10 Tahun 2011, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 119 Tahun 2018 tentang Kebijakan Umum Perdagangan Pasar Fisik Emas Digital di Bursa Berjangka.
Dalam peraturan Bappebti, emas yang diperdagangkan pada pasar fisik adalah emas murni dengan kandungan aurum (au) paling rendah 99,9 persen. Selain itu, memiliki sertifikat yang mencakup kode seri emas, logo, dan berat; dan satuan emas dalam berat, yakni 1 gram, 2 gram, 5 gram, 10 gram, 25 gram, 50 gram, 100 gram, 250 gram, dan 1.000 gram.
Bursa Efek Indonesia (BEI)
Bursa Efek Indonesia akan terus memberikan kemudahan kepada start up atau perusahaan rintisan perusahaan berkapitalisasi menengah dan kecil untuk dapat menjadi emiten.
Adapun, dalam rangka memudahkan start up atau perusahaan rintisan—biasanya perusahaan rintisan memiliki kapitalisasi pasar yang terbilang menengah hingga kecil—untuk menjadi perusahaan tercatat, bursa telah memberikan relaksasi, seperti perubahan peraturan 1-A.
Sebelumnya, dalam peraturan itu disebutkan bahwa sebuah perusahaan wajib memiliki aset berwujud atau net tangible asset (NTA) dengan ukuran tertentu supaya bisa menjadi emiten.
I Gede Nyoman Yetna Setya, Direktur Penilaian Perusahaan BEI, menjelaskan aturan tersebut banyak dikeluhkan karena tidak semua perusahaan yang ingin mencatatkan sahamnya memiliki aset berwujud.
Seperti perusahaan teknologi yang memiliki platform online yang tidak memiliki aset berwujud namun memiliki aset tak berwujud (intangible) yang besar berupa pelanggan, konsumen, dan jaringan yang kuat.
“Ada yang namanya net tangible asset, pokoknya aset yang berwujud saja yang kami hitung. Dengan NTA, banyak keluhan dari berbagai pihak karena tidak semua perusahaan itu asetnya berwujud,” kata Nyoman dikutip Bisnis Indonesia.
Lelang Sukuk Negara
Pemerintah meraup dana Rp7,05 triliun pada lelang surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk negara kemarin. Penawaran masuk di lelang tersebut mencapai Rp29,03 triliun. Penawaran tersebut lebih tinggi ketimbang lelang sukuk dua pekan lalu, yang cuma Rp21,81 triliun.
Investor masih memburu seri-seri tenor pendek. Sebaliknya, pemerintah paling banyak memenangkan sukuk jangka panjang. Seperti dikutip Kontan, Senior Vice President Recapital Asset Management Rio Ariansyah menilai, daya serap investor terhadap sukuk jauh lebih tinggi dibandingkan obligasi konvensional karena sukuk tidak terlalu terpengaruh sentimen di pasar.
Permintaan sukuk kali ini juga naik didorong ekspektasi penurunan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI). "Kenaikan permintaan dalam lelang lebih dikarenakan turunnya suku bunga BI," kata Rio.
Karena suku bunga berpotensi turun, Direktur Utama Avrist Asset Management Hanif Mantiq menilai, investor memburu sukuk sekarang. "Investor takut, yield lebih turun ke depannya," kata dia.
Financial Technology (fintech)
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat tingkat gagal bayar perusahaan financial technology (fintech) lending per Juli 2019 sebesar 2,52 persen. Angka ini naik dibandingkan pada Juni 2019 yang sebesar 1,75 persen. Per Desember 2018 tingkat gagal bayar fintech mencapai 1,45 persen. Bagi OJK kenaikan NPF fintech masih dalam batas wajar.
"Yang paling penting dipahami adalah kenaikan tingkat wanprestasi ini risikonya ada di pemberi pinjaman, bukan di fintech platformnya. Lender memiliki risk appetite untuk memutuskan memberikan pinjaman apa tidak," tutur Juru Bicara OJK Sekar Putih Djarot.
Malah kenaikan ini mengindikasikan mesin artificial intellegence (AI) penyelenggara terus bekerja melakukan penilaian pada calon peminjam. Menanggapi kehadiran Pusat Data Fintech Lending (Pusdafil), OJK optimistis, kinerjanya mampu memberikan dampak baik untuk scoring pengguna.
"Pusdafil didesain untuk menyediakan data historis bagi pengguna fintech lending," ujar Sekar.
(AM)