Bareksa.com – Menjelang akhir Maret lalu The Fed mengubah narasi outlook suku bunga dari sebelumnya hawkish menjadi cenderung dovish. Langkah tersebut ternyata punya dampak positif terhadap pasar obligasi Indonesia.
Director & Chief Investment Officer, Fixed Income PT Manulife Aset Manajemen Indonesia Ezra Nazula menuturkan, kondisi ini membuka peluang bagi Bank Indonesia untuk melakukan pemangkasan suku bunga lebih cepat dibandingkan perkiraan, selama data-data ekonomi dalam negeri seperti inflasi, defisit neraca berjalan, serta nilai tukar Rupiah cenderung stabil dan suportif.
“Saat ini ekspektasi pemangkasan suku bunga BI sudah tercermin pada pergerakan imbal hasil obligasi tenor pendek yang membentuk pola bull steepening. Imbal hasil obligasi tenor pendek turun lebih cepat dibandingkan tenor panjang sehingga membuat selisih imbal hasil obligasi tenor pendek dan panjang kembali ternormalisasi ke kisaran 50 basis poin dari sebelumnya yang sempat ketat di kisaran 10 basis poin,” tutur Ezra melalui keterangannya yang diterima Bareksa, Senin, 22 April 2019.
Secara historis di Amerika Serikat, inversi imbal hasil yang terjadi ketika imbal hasil obligasi jangka panjang lebih rendah dari imbal hasil obligasi jangka pendek, karena dapat menjadi sinyal kemungkinan terjadinya resesi dalam 12-24 bulan ke depan. Namun Ezra cukup yakin bahwa kekhawatiran mengenai resesi ekonomi AS dapat dihindari, karena kondisi saat ini berbeda dengan dulu.
Di masa lalu ketika inversi terjadi, The Fed dalam kondisi masih menaikkan suku bunga, sementara saat ini Fed malah membuka peluang pemangkasan suku bunga untuk menopang perekonomiannya, khususnya menjelang pemilu di Amerika Serikat tahun depan. “Base case scenario untuk saat ini adalah ekonomi Amerika Serikat melambat namun tidak jatuh pada jurang resesi,” terang Ezra.
Ezra pun masih memiliki outlook positif terhadap pasar Indonesia. Potensi kenaikan lebih lanjut akan didorong oleh beberapa faktor, antara lain:
• Selisih yang masih menarik antara imbal hasil Indonesia & US treasury 10 tahun di kisaran 140 basis poin.
• Risk-on (mode mengambil risiko) di pasar finansial, didukung oleh stabilitas pada pergerakan imbal hasil US treasury yang diperkirakan akan bergerak di kisaran 2,5 persen- 2,75 persen sampai akhir tahun 2019.
• Berkurangnya tekanan pada pasar sekunder, di mana penerbitan obligasi pemerintah Indonesia untuk tahun ini hanya tinggal satu kali lagi.
• Berlanjutnya perbaikan ekonomi domestik dapat mendorong peluang kenaikan peringkat investasi negara Indonesia ke depannya.
Obligasi Tenor Pendek atau Panjang?
Ezra juga menjelaskan jika Bank Indonesia memangkas suku bunga acuannya, mana yang lebih diuntungkan, apakah obligasi bertenor pendek atau panjang. Menurut Ezra, pemangkasan suku bunga akan menguntungkan keduanya. Obligasi tenor pendek yang cenderung lebih sensitif terhadap perubahan suku bunga, akan bergerak lebih dulu dengan besaran penurunan imbal hasil yang dipengaruhi seberapa besar ekspektasi penurunan suku bunga acuan.
Penurunan imbal hasil tenor pendek ini akan diikuti oleh penurunan imbal hasil obligasi tenor panjang. Awalnya kurva imbal hasil akan membentuk pola bull steepening - imbal hasil obligasi tenor pendek turun lebih cepat dibandingkan obligasi tenor panjang – untuk kemudian membentuk pola bull flattening, di mana imbal hasil obligasi tenor panjang turun lebih cepat dibandingkan obligasi tenor pendek sehingga membentuk kurva imbal hasil yang lebih mendatar.
Secara umum dua faktor penting bagi pergerakan pasar obligasi adalah siklus suku bunga dan mekanisme dari sisi supply – demand. “Dari sisi suku bunga, seperti sudah kami bahas sebelumnya bahwa kondisinya cukup kondusif dan potensial. Jika kita telaah dari faktor kedua yaitu permintaan dan penawaran, sejauh ini total penerbitan SBN sudah mencapai 40 persen dari targetnya,” tambah Ezra.
Artinya jika penerbitan SBSN (Sukuk) sesuai dengan target, maka penyerapan SBN dalam setiap lelang hanya sekitar Rp15 triliun. Angka ini jauh lebih rendah dibandingkan kuartal pertama 2019 di kisaran Rp20 triliun- Rp22 triliun. Artinya kondisi dari sisi permintaan dan penawaran di kuartal kedua ini pun sangat kondusif dan potensial.
Ezra juga mencermati Pemilu yang berlangsung kondusif dengan hasil yang tidak mengejutkan pasar akan suportif bagi pasar obligasi. Hilangnya ketidakpastian politik dapat mendorong dana masuk baik dari investor domestik maupun global.
“Sejauh ini target obligasi pemerintah Indonesia tenor 10 tahun masih berada di kisaran 7 persen – 7,5 persen dan target ini masih bisa direvisi turun jika BI melakukan pemangkasan suku bunga,” ungkapnya.
Adapun Ezra menyarankan strategi investasi yang bisa diterapkan guna menghasilkan kinerja portofolio yang superior. Ezra menyarankan menjaga aset obligasi dalam denominasi Rupiah pada durasi tactical overweight – baik bagi portofolio dengan durasi pendek ataupun menengah – memanfaatkan perbaikan sentimen pada emerging market dan peluang pemangkasan suku bunga. “Selain itu kami juga terus mencermati likuiditas dan volatilitas untuk memastikan pengelolaan investasi akan memberikan hasil optimal dengan risiko yang terkendali,” tutup Ezra. (hm)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut.