Ini 106 Fintech P2P Lending yang Terdaftar di OJK

Bareksa • 12 Apr 2019

an image
Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing (kedua kiri) saat konferensi pers soal penangkapan terhadap empat tersangka yang melakukan upaya menakuti-nakuti nasabah peer to peer lending melalui media elektronik yang merupakan debt collector dari PT VCard Teknologi Indonesia (VLoan), di Kantor Bareskrim Polri, Selasa (8/1). (Bereksa/Gita R)

Jumlah fintech p2p lending terdaftar masih lebih kecil dari fintech p2p lending ilegal yang mencapai 803 entitas

Bareksa.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, sampai 5 April 2019, ada 106 perusahaan fintech peer to peer lending yang telah terdaftar. Jumlah tersebut meningkat dibandingkan pada Februari 2019 yang baru berjumlah 99 perusahaan.

Adapun nama-nama fintech yang baru terdaftar tersebut adalah PT Akur Dana Abadi (Jembatan Emas), PT Sinergi Mitra Finansial (Kredible), PT Pinjaman Kemakmuran Rakyat (KlikUMKM), PT Harapan Fintech Indonesia (Klik Kami), PT Idana Solusi Sejahtera (Cairin), PT Empat Kali Indonesia (Empat Kali), dan PT Berdayakan Usaha Indonesia (Batumbu).

Dengan bertambahnya fintech terdaftar tersebut, OJK mengimbau masyarakat untuk menggunakan jasa penyelenggaran fintech peer to peer lending yang sudah terdaftar/berizin tersebut.

Daftar Fintech P2P Terdaftar

Sementara sebelumnya, Satgas Waspada Investasi telah menghentikan kegiatan 803 entitas fintech peer to peer lending ilegal atau yang tidak terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejak 2018 sampai Maret 2019.

Ketua Satgas Waspada Investasi Tongam L. Tobing menjelaskan, dari 803 perusahaan peer-to-peer lending (P2P) ilegal tersebut, sebanyak 323 perusahaan atau 40 persen tidak diketahui asal negaranya sedangkan 22 persen atau 178 perusahaan berasal dari Indonesia.

"Sisanya ada yang berasal dari Amerika Serikat, Singapura, China, Rusia, Hongkong dan Malaysia," ujar Tongam.

Banyaknya fintech P2P ilegal terjadi karena kebutuhan yang tinggi dari masyarakat. Pasalnya, saat ini tidak banyak masyarakat yang bisa mendapatkan akses perbankan. Kalaupun memiliki akses ke industri keuangan, proses mendapatkan pinjamanpun tidak mudah. Ada proses panjang yang harus ditempuh dan tidak jarang pinjaman yang diajukan ditolak.

"Pelaku fintech P2P ilegal memanfaatkan kebutuhan yang tinggi dari masyarakat dengan membuat aplikasi fintech yang mudah untuk dibuat," ucap dia.

Namun di balik kemudahan itu, meminjam uang di fintech ilegal justru menimbulkan banyak risiko. Nasabah harus siap dikenakan bunga pinjaman yang tinggi melambung, penyebaran data pribadi, tata cara penagihan yang tidak beretika dan alamat peminjaman yang tidak jelas dan berganti nama.

Besarnya risiko meminjam di fintech ilegal ini pula yang menyebabkan Satgas Waspada Investasi merasa perlu untuk menghentikan kegiatan mereka. Bentuk tindakan OJK dan Satgas Waspada Investasi terhadap aksi penjaringan dan penyaluran dana tak berizin adalah pengumuman nama perusahaan fintech ilegal tersebut kepada masyarakat, pemblokiran situs dan pembatasan transaksi keuangan mereka di perbankan.

OJK juga mengedukasi masyarakat untuk senantiasa mengetahui daftar perusahaan fintech P2P terdaftar sebelum mengajukan pinjaman. Daftar ini bisa dilihat di website OJK atau bisa diketahui dengan mengontak OJK di nomor call center 157.

Selain fintech ilegal, hal lain yang juga meresahkan masyarakat adalah kegiatan investasi ilegal. Sampai Maret 2019, Satgas Waspada Investasi sudah menghentikan kegiatan 49 entitas investasi ilegal. Investasi ilegal tersebut paling banyak bergerak di kegiatan perdagangan valuta asing (forex) dan multi-level marketing (MLM) tanpa izin.

Sama seperti kegiatan fintech ilegal, hadirnya investasi ilegal juga terjadi karena kebutuhan masyarakat. Masih banyak masyarakat yang tergiur dengan bunga tinggi atau imbal hasil tinggi tanpa mengetahui legalitas perusahaan yang menawarkan investasi.

Akibatnya, banyak masyarakat yang terjerat investasi bodong. Satgas Waspada Investasi mencatat, total kerugian yang diakibatkan oleh investasi bodong dari tahun 2008-2018 mencapai Rp88,8 triliun. Kerugian paling besar berasal dari Pandawa Group Rp3,8 triliun, Dream 4 Freedom Rp3,5 triliun, kasus 4 travel umrah Rp3 triliun dan kasus lainnya.

(AM)