Bareksa.com - Bank sentral Amerika Serikat (AS), The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga acuannya dalam pertemuan pekan depan, tepatnya yang berlangsung 18-19 Desember 2018. Namun, para pembuat kebijakan moneter Negeri Adidaya tersebut telah mulai memberi sinyal akan memperlambat laju kenaikan suku bunga di tahun 2019.
Kondisi tersebut didasarkan oleh pertumbuhan ekonomi yang melambat, perang dagang global, inflasi yang stabil, serta meningkatnya ketegangan geopolitik bisa menjadi alasan The Fed untuk memperlambat atau bahkan menghentikan sementara laju pengetatan kebijakan moneternya yang direncanakannya.
Tiap langkah yang diambil The Fed akan sangat menentukan arah gerak pasar keuangan global, terkhusus bursa saham AS. Sejak Oktober, Wall Street telah bergerak dengan volatilitas yang tinggi antara melonjak tajam hingga turun dalam menyusul berbagai pernyataan publik Gubernur The Fed Jerome Powell dan pejabat bank sentral lainnya yang memberi sinyal antara kelanjutan kenaikan bunga acuan hingga penghentian sementara.
Grafik Pergerakan Indeks Dow Jones Industrial Average
Sumber: Bloomberg
Adapun dalam beberapa hari terakhir, para ekonom telah mulai memangkas proyeksi jumlah kenaikan suku bunga AS di tahun depan menjadi hanya sebanyak satu atau dua kali, setelah sebelumnya diproyeksi adanya kenaikan sebanyak empat kali.
Para pejabat The Fed pada bulan September memperkirakan akan ada tiga kali kenaikan bunga acuan, namun menyatakan angka tersebut dapat direvisi dalam pertemuan yang akan berlangsung Rabu pekan depan.
Sekadar mengingatkan, bursa saham AS anjlok di awal Oktober lalu saat Powell mengatakan bahwa suku bunga acuan masih jauh dari netral yang berarti mengindikasikan akan ada lebih banyak lagi kenaikan suku bunga.
Namun, beberapa waktu lalu ia mengubah nadanya dengan mengatakan suku bunga acuan sedikit berada di bawah netral dan membuat indeks-indeks saham mencatatkan reli pada akhir November.
Sinyal lainnya juga mungkin telah muncul bahwa laju kenaikan suku bunga akan semakin lambat. Di tengah aksi jual di pasar saham, Wall Street Journal melaporkan pada 7 Desember lalu bahwa The Fed sedang mempertimbangkan untuk mengambil pendekatan wait and see. Kabar tersebut berhasil sedikit meredakan kekhawatiran investor.
Hal tersebut bukan tanpa alasan, mengingat beberapa data ekonomi AS yang menunjukkan hasil kurang memuaskan. Inflasi AS terpantau tumbuh melambat pada bulan November dikarenakan biaya bahan bakar dan energi turun. Kondisi terbaru ini mengindikasikan bahwa tekanan harga mereda setelah lonjakan yang terjadi pada awal tahun ini.
Grafik Data Inflasi Amerika Serikat YoY (dalam persen)
Sumber: tradingeconomics.com
Indeks harga konsumen utama melambat menjadi 2,2 persen secara tahunan (year on year/yoy), seperti dikutip dari departemen tenaga kerja AS pada hari Rabu (12 Desember 2018). Angka tersebut turun dari 2,5 persen yang tercatat pada Oktober dan sejalan dengan perkiraan para ekonom.
Sebelumnya, pada akhir pekan lalu juga terdapat data ekonomi yang menunjukkan bahwa perekonomian AS sedikit mengalami perlambatan.
Pada hari Jumat (7 Desember 2018), data resmi versi pemerintah AS menunjukkan bahwa pada bulan November, tercipta 155.000 lapangan kerja sektor non-pertanian, di bawah konsensus pasar yang sebesar 198.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Grafik Penciptaan Lapangan Kerja Baru Non-Pertanian (dalam ribuan)
Sumber: tradingeconomics.com
Sementara itu, rata-rata upah per jam di AS untuk periode yang sama hanya tumbuh sebesar 0,2 persen mom, lebih rendah dibandingkan proyeksi yang sebesar 0,3 persen mom.
Grafik Pertumbuhan Rata-Rata Upah per Jam di AS (dalam persen)
Sumber: tradingeconomics.com
Dengan melandainya angka pertumbuhan inflasi, ada harapan bahwa The Fed tidak akan terlalu agresif dalam mengerek suku bunga acuannya. Jika bank sentral tetap memaksakan adanya kenaikan suku bunga acuan justru bisa menjadi bumerang tersendiri bagi perekonomian Negeri Paman Sam. (KA01/hm)