Faisal Basri Sebut Penguatan Rupiah karena Utang Baru, Ini Bantahan Kemenkeu

Bareksa • 06 Dec 2018

an image
Ilustrasi uang rupiah kertas berserakan

Setelah semester I 2018, Pemerintah tidak lagi menerbitkan SBN Valas hingga akhir tahun ini

Bareksa.com – Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan mengaku prihatin adanya ekonom sekaliber Faisal Basri yang menuding rupiah menguat karena adanya utang baru.

Menurut Direktur Pinjaman dan Hibah DJPPR Kementerian Keuangan Schneider Siahaan, setelah semester I 2018, Pemerintah tidak lagi menerbitkan surat berharga negara dalam valuta asing (SBN Valas) hingga akhir tahun ini untuk menutup APBN 2018.

“Dana siaga dari ADB pun baru merupakan komitmen dan belum ditarik untuk rekonstruksi pasca bencana Palu dan Lombok. Sampai saat ini dana APBN masih mampu untuk membiayainya dan dana siaga itu hanya bersifat pelengkap saja dan ditarik sewaktu-waktu sangat-sangat diperlukan,” tuturnya melalui keterangan tertulis, Kamis, 6 Desember 2018.

Data DJPPR, lanjutnya, juga mendapati data kepemilikan asing menurun dari awal tahun. Jadi cukup mengherankan bagaimana dapat dinyatakan penguatan rupiah sekarang terkait dengan penarikan utang valas.

Menurut Schneider, secara teori ada benarnya penarikan utang valas salah satunya akan memengaruhi BOP dan menguatkan rupiah. Namun kali ini kasusnya beda, kembalinya rupiah ke level di bawah Rp15.000 per dolar Amerika Serikat (AS) karena pengaruh dari luar dan dalam.

Pengaruh dari luar salah satunya isu global yang turut melemahkan indeks dolar AS terutama akibat pernyataan-pernyataan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang dinilai menenangkan pasar perihal pertemuannya dengan Presiden Tiongkok Xi Jinping pada akhir November ini.

Kemudian tren penurunan harga minyak mentah dunia yang cenderung drastis juga turut memengaruhi pergerakan rupiah. Akibatnya, mulai bermunculan berbagai ekspektasi akan kemungkinan The Fed yang akan memperlambat kenaikan suku bunganya menjadi tahun depan karena pasar melihat perekonomian global yang bergerak melambat dari perkiraan.

Kabar segar juga datang dari KTT Brexit yang diadakan pekan lalu dinilai menjanjikan karena Inggris dengan Uni Eropa akan membahas rencana pemisahan Inggris dari Eropa pada Maret 2019 mendatang dan kemungkinan besar akan menghasilkan suatu keputusan yang pasti.

“Hal tersebut masih ditambah keputusan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga 25 basis poin dan adanya pemberlakukan stimulus paket kebijakan ekonomi XVI yang dinilai cukup efektif, sehingga dana asing kembali masuk ke Indonesia,” paparnya.

Tanggapan Schneider ini menyambut pernyataan Faisal Basri beberapa waktu lalu. Mengutip bisnis.tempo.co, Faisal menyebut bahwa rupiah yang tengah menguat hari-hari ini karena kebijakan pemerintah untuk menarik utang. Menurut dia, hal ini kemudian menyebabkan dolar Amerika Serikat masuk sehingga memperkuat likuiditas di dalam negeri.

"Karena itu rupiah membaik itu bukan karena darah keringat pemerintah tapi karena utang," kata Faisal dalam acara seminar sasional Proyeksi Ekonomi Indonesia 2019 yang bertajuk "Adu Strategi Hadapi Perang Dagang" di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Rabu, 28 November 2018.

Pada 29 November 2018 pukul 10:15 WIB, di pasar spot nilai tukar rupiah berada di level Rp14.384 per dolar AS. Rupiah menguat 0,84 persen dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya di level Rp14.506 per dolar AS. Sebagai informasi, jika dibandingkan dengan nilai rupiah yang sempat menyentuh level terlemahnya tahun ini di level Rp15.233 per dolar AS pada 12 Oktober 2018 lalu, maka pada saat itu mata uang Garuda telah rebound kurang lebih sekitar 5,57 persen atau 849 poin.

Sementara itu, berdasarkan kurs referensi (JISDOR) Bank Indonesia per 6 Desember 2018, nilai tukar rupiah berada pada Rp14.507 per dolar AS. (hm)