BI Optimistis Soal Ekonomi 2019 Namun Ekonom Nilai Banyak Tantangan, Apa Saja?
BI diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate ke arah 6,5 - 6,75 persen
BI diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate ke arah 6,5 - 6,75 persen
Bareksa.com - Ekonom PT Bank CIMB Niaga Tbk memprediksi perekonomian Indonesia pada tahun depan masih menghadapi banyak tantangan. Pertumbuhan ekonomi Indonesia diproyeksi sebesar 4,9 persen atau sedikit lebih rendah dari rerata 2018 yang berada di 5 persen.
Volatilitas di pasar finansial, sebagai konsekuensi kurangnya likuiditas akibat naiknya suku bunga, akan terus berlanjut. Kondisi tersebut muncul akibat tekanan dari faktor eksternal dan kondisi pasar domestik yang kemudian berimbas pada pertumbuhan ekonomi nasional.
Pernyataan tersebut disampaikan Chief Economist PT Bank CIMB Niaga Tbk (CIMB Niaga) Adrian Panggabean pada Diskusi Media Bersama Chief Economist CIMB Niaga di Graha CIMB Niaga, Jakarta, Rabu (28/11/2018). Dalam diskusi tersebut, Adrian memaparkan analisanya terkait proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 dan faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Promo Terbaru di Bareksa
“Dari sisi global, tantangan yang akan menekan pertumbuhan ekonomi Indonesia berasal dari prospek berlanjutnya normalisasi suku bunga acuan Amerika Serikat (AS) atau Fed Fund Rate (FFR) sebanyak dua sampai tiga kali pada tahun depan, perlambatan ekonomi di China, prospek normalisasi moneter di Zona Eropa, gesekan geopolitk yang berimbas pada harga minyak, serta prospek berlanjutnya perang dagang antara AS dan China,” kata Adrian.
Adrian melanjutkan dinamika yang terjadi pada tingkat global tersebut akan menyebabkan berlanjutnya rotasi antar kelas aset yang kemudian berdampak dengan berlanjutnya pergeseran ekuilibrium kurs global.
Kesemuanya perlu direspons pemerintah lewat penyesuaian kebijakan fiskal, moneter dan perdagangan. Harapannya agar daya tarik pasar keuangan domestik tetap terjaga.
Ia memperkirakan, jika tahun depan suku bunga acuan FFR naik 2-3 kali dan posisi defisit transaksi berjalan belum membaik secara signifikan, maka Bank Indonesia (BI) diprediksi akan menaikkan suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI 7-DRRR) ke arah 6,5 - 6,75 persen.
Kenaikan suku bunga acuan tersebut akan menyebabkan berkurangnya likuiditas di sistem keuangan domestik, naiknya long-term rates, sehingga volatilitas pasar finansial tahun depan akan lebih tinggi dari tahun ini. Prospek bergerak naiknya long term rates berpotensi mengurangi aktivitas pembiayaan termasuk pembiayaan lewat pasar modal.
“Bila suku bunga acuan BI terus bergerak naik kearah 6,5 -6,75 persen, saya memperkirakan rerata yield obligasi tenor 10 tahun akan berada di kisaran 8,5 persen di 2019, atau naik sekitar 100 basis poin (bps) dari rerata di 2018,” ujar Adrian.
Faktor lain yang turut mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun depan adalah kebijakan fiskal pemerintah yang tidak ekspansif. Hal ini juga merupakan konsekuensi dari rendahnya nisbah pajak atau tax-ratio yang kemudian dilanjutkan oleh efek kebijakan suku bunga dalam menjaga nilai rupiah namun berdampak pada pelemahan dinamika sektor riil.
Di sisi lain, tingkat inflasi sepanjang 2019 diperkirakan akan tetap rendah. “Saya melihat baik headline inflation maupun core inflation tahun depan akan berada di bawah median target BI,” katanya.
Adrian menjelaskan sejalan dengan telah naiknya suku bunga acuan sebanyak 175 basis poin sejak Mei 2018, ditambah dengan harapan pemerintah akan melakukan rescheduling temporer terhadap sejumlah proyek-proyek infrastruktur untuk menjaga defisit transaksi berjalan yang telah sangat lebar, maka tekanan impor diperkirakan akan mulai berkurang di 2019.
Dia menilai, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) di 2019 akan lebih rendah dibanding 2018. CAD diperkirakan akan berada di kisaran 2,5 persen dari PDB.
Dengan mengacu pada prospek CAD tersebut, dan termasuk faktor global termasuk didalamnya stabilitas dalam indeks dolar Amerika (DXY) serta prospek depresiasi mata uang yuan (CNY), maka rentang perdagangan rupiah di 2019 akan berada di level Rp14.400-15.200 per dolar AS.
“Bila dilihat secara fundamental, dari perspektif pandang purchasing power dan perbedaan long-term rates, nilai rupiah yang wajar untuk 2019 sebetulnya berada di kisaran Rp14.300-14.800 per dolar AS. Namun secara teknikal, dengan memasukkan faktor sentimen dan faktor cross-currency movement, maka rentang perdagangan rupiah bisa mencapai Rp14.400-15.200 per dolar AS," kata dia.
Adrian mengingatkan dinamika perekonomian yang menantang pada 2019 bukanlah hal yang harus ditakuti. “Di balik volatilitas tersebut selalu ada opportunity, karena itu perlu kehati-hatian dan kejelian dari seluruh pelaku ekonomi, serta formulasi kebijakan yang tepat dan antisipatif oleh pemangku kebijakan ekonomi, dalam menghadapi tantangan perekonomian di 2019,” tutup Adrian.
BI Optimistis Melihat Pertumbuhan Ekonomi 2019
BI sebelumnya memprediksi pertumbuhan ekonomi pada tahun 2019 akan lebih meningkat di kisaran 5 - 5,4 persen. Pertumbuhan ini didukung oleh kuatnya permintaan domestik, baik konsumsi maupun investasi dan juga membaiknya kinerja ekspor.
“Di tengah perkiraan ekonomi global yang tumbuh melandai, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 diperkirakan tetap meningkat,” ujar Gubernur BI Perry Warjiyo dalam acara Pertemuan Tahunan BI di Jakarta, Selasa (27/11).
Sementara dari sisi inflasi, Perry memprediksi pada 2019 tetap terjaga di kisaran 3,5 plus minus 1 persen dengan terjaganya harga dari sisi permintaan, volatile food dan administered prices, ekspektasi inflasi, dan stabilnya nilai tukar rupiah.
Kemudian, defisit transaksi berjalan 2019 akan menurun menjadi sekitar 2,5 persen dari PDB dengan langkah-langkah pengendalian impor serta peningkatan ekspor dan pariwisata.
Fungsi intermediasi perbankan dan pembiayaan ekonomi dari pasar modal akan terus meningkat. Pertumbuhan kredit pada 2019 diprakirakan mencapai 10-12 persen, sementara pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) perbankan mencapai 8-10 persen dengan kecukupan likuiditas yang terjaga.
Dalam jangka menengah, BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi akan lebih tinggi lagi yaitu mencapai 5,5 - 6,1 persen pada 2024. Percepatan pembangunan infrastruktur dan serangkaian kebijakan deregulasi yang ditempuh selama ini akan meningkatkan produktivitas perekonomian ke depan.
Pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi juga didorong oleh serangkaian kebijakan reformasi struktural. Dengan akselerasi reformasi struktural di berbagai bidang tersebut, pertumbuhan ekonomi dapat mencapai 6,1 persen pada 2024 dengan defisit transaksi berjalan akan menurun di bawah 2 persen dari PDB. Pendapatan per kapita meningkat dari sekitar US$3.500 menjadi lebih dari US$4.800 per kapita pada 2024.
"Dengan kondisi perekonomian global yang belum kondusif, bauran kebijakan BI yang telah ditempuh pada 2018 akan semakin kami perkuat pada tahun 2019 mendatang. Ketahanan ekonomi nasional perlu terus diperkuat dalam menghadapi risiko dampak rambatan ekonomi global," ungkap Perry.
Karena itu, kebijakan moneter akan tetap difokuskan pada stabilitas, khususnya pengendalian inflasi sesuai sasaran 3,5 plus minus 1 persen dan stabilitas nilai tukar rupiah sesuai fundamentalnya.
Sementara itu, kebijakan yang akomodatif akan terus ditempuh dan diperluas di bidang makroprudensial, sistem pembayaran, pendalaman pasar keuangan, serta pengembangan ekonomi keuangan syariah untuk mendorong momentum pertumbuhan ekonomi ke depan.
Stance kebijakan moneter yang pre-emptive dan ahead-the curve akan dipertahankan pada tahun 2019. Kebijakan suku bunga akan terus dikalibrasi sesuai perkembangan ekonomi domestik dan global untuk memastikan inflasi terkendali sesuai sasaran dan nilai tukar rupiah stabil sesuai fundamentalnya.
Stabilisasi nilai tukar rupiah dilakukan dengan terus mendorong semakin efisiennya mekanisme pasar, tanpa mengurangi keperluan intervensi ganda apabila diperlukan khususnya dalam kondisi pasar yang mendapat tekanan. Kecukupan cadangan devisa akan terus dijaga, dan kerja sama bilateral dengan bank sentral dan kerja sama keuangan regional akan terus diperkuat.
(K09/AM)
Pilihan Investasi di Bareksa
Klik produk untuk lihat lebih detail.
Produk Eksklusif | Harga/Unit | 1 Bulan | 6 Bulan | YTD | 1 Tahun | 3 Tahun | 5 Tahun |
---|---|---|---|---|---|---|---|
Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A | 1.382,65 | 0,56% | 4,26% | 7,54% | 8,69% | 19,21% | - |
Trimegah Dana Obligasi Nusantara | 1.093,4 | 0,43% | 4,43% | 6,99% | 7,44% | 2,54% | - |
STAR Stable Amanah Sukuk autodebet | 1.079,4 | 0,60% | 3,98% | 7,06% | 7,74% | - | - |
Capital Fixed Income Fund | 1.844,45 | 0,53% | 3,89% | 6,66% | 7,38% | 17,02% | 40,39% |
Insight Renewable Energy Fund | 2.270,42 | 0,81% | 3,88% | 6,54% | 7,20% | 20,19% | 35,64% |
Produk Belum Tersedia
Ayo daftar Bareksa SBN sekarang untuk bertransaksi ketika periode pembelian dibuka.