Harga Minyak Amblas, 10 Saham Emiten Tambang Ini Berguguran

Bareksa • 26 Nov 2018

an image
Pekerja beraktivitas di Lapangan Senipah, Peciko dan South Mahakam (SPS) yang merupakan tempat pengolahan minyak dan gas bumi dari Blok Mahakam, Kutai Kartanegara, Rabu (27/12). Pertamina akan mengambil alih pengelolaan Blok Mahakam dari Total E&P Indonesie mulai 1 Januari 2018. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)

Indeks saham pertambangan anjlok 2 persen pada perdagangan hari ini

Bareka.com – Harga minyak dunia telah jatuh cukup dalam sepanjang pekan lalu. Saham-saham tambang berguguran pada perdagangan hari ini, Senin, 26 November 2018). Setidaknya terlihat dari beberapa saham seperti DOID, BUMI, MEDC, PTBA, INDY, HRUM, ELSA, INCO, ANTM dan ADRO.

Harga saham PT Delta Dunia Makmur Tbk (DOID) anjlok hingga 8,66 persen menjadi Rp580 dari sebelumnya Rp640.

Sementara itu PT Bumi Resources Tbk (BUMI) turun 7,95 persen menjadi Rp139 dari sebelumnya Rp151

Sementara harga saham PT Medco Energi Internasional  Tbk (MEDC)  melemah 7,14 persen menjadi Rp650 dari sebelumnya Rp680

Hal itu juga bisa dilihat dari intraday indeks saham tambang hingga pukul 15.20 WIB amblas hingga 2 persen ke level 1.690,2 dari sebelumnya 1.732,6.

Pergerakan Harga Saham Pertambangan Intraday

Sumber: Bareksa.com

Anjloknya harga minyak seiring kekhawatiran pelaku pasar terhadap potensi perlambatan ekonomi global semakin nyata dan memberatkan harga si emas hitam. Sepanjang pekan lalu, harga minyak Brent melemah 11,92 persen secara point to point. Sedangkan minyak light sweet turun 10,69 persen.

Berkurangnya optimisme terhadap prospek perekonomian global menjadi pemberat harga minyak dunia. Amerika Serikat (AS) yang saat ini menjadi lokomotif pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan mengalami perlambatan dalam beberapa waktu ke depan.

Hingga saat ini, ekonomi Negeri Paman Sam memang melaju kencang berkat dampak stimulus pajak yang dikeluarkan Presiden Donald Trump pada akhir tahun lalu.

Pemotongan tarif Pajak Penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan di AS sukses mendorong tingkat konsumsi masyarakat dan korporasi di Negeri Adidaya.

Namun kondisi tersebut diperkirakan tidak akan berlangsung lama. Akan datang waktu di mana semua akan kembali ke situasi normal. Bahkan kemungkinan ini sudah mulai terjadi pada kuartal IV 2018.

Bank Sentral AS (The Fed) memperkirakan ekonomi AS pada kuartal IV 2019 tumbuh 2,5 persen secara kuartalan yang disetahunkan (quarterly annualized), melambat dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yaitu 3,5 persen.

Saat lokomotif pertumbuhan mengalami perlambatan, maka gerbong-gerbong di belakangnya pun juga akan ikut melambat. Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi global 3,7 persen pada 2019, melambat dibandingkan proyeksi sebelumnya yaitu 3,9 persen.

Di saat ekonomi melambat, maka permintaan energi juga akan berkurang. Sementara di sisi lain, pasokan minyak malah kemungkinan naik. Organisasi Negara-negara Eksportir Minyak (OPEC) memperkirakan terjadi kelebihan pasokan sekitar 1,4 juta barel per hari pada tahun depan.

Perlambatan ekonomi (penurunan demand) ditambah dengan kenaikan produksi (kenaikan supply) hasilnya pasti penurunan harga. Jika persepsi tersebut tidak berubah, maka harga minyak dunia berpotensi masih akan terkoreksi dalam waktu tidak sebentar.

(AM)