Bareksa.com - Direktur Utama PT Indonesia Asahan Alumunium (Inalum), Budi Gunadi Sadikin mengatakan saat ini Inalum masih dalam proses menyelesaikan transaksi divestasi saham PT Freeport Indonesia (PTFI). Budi menjelaskan proses yang sedang berlangsung ini diharapkan pada Desember mendatang sudah selesai semua.
Menurut Budi, ada lima poin dalam proses transaksi yang harus diselesaikan oleh Inalum.
Pertama, pemenuhan kondisi-kondisi prasyarat penyelesaian akuisisi saham yang ditargetkan September - Desember 2018.
Kedua, proses pengumpulan dana. Poin kedua ini, kata Budi sudah berhasil diselesaikan Inalum.
"Persiapan kebutuhan pendanaan Inalum dalam rangka pembiayaan divestasi saham PTFI yang ditargetkan Agustus - November 2018. Ini sudah ya kemarin kan dari global bond," ujar Budi di Soehana Hall, Jakarta, Kamis, 22 November 2018.
Ketiga, persetujuan atas perubahan Anggaran Dasar PTFI yang ditargetkan November - Desember 2018.
Keempat yang saat ini sedang diselesaikan oleh Inalum adalah mengurus dokumen anti trust filing.
"Ini sedang kami urus, dokumen anti trust dari China, Indonesia, Jepang, Filipina dan Korea Selatan. Timelinenya memang Oktober sampai paling tidak Desember besok," ujar Budi.
Terakhir atau kelima, adalah proses pembayaran. "Penyelesaian transaksi divestasi saham PTFI yang ditargetkan pada Desember 2018," ujar Budi.
Inalum sudah mengantongi pendanaan dari global bond untuk membayar divestasi saham PTFI. Dana sebesar US$4 miliar ini dikumpulkan oleh Inalum dari penerbitan global bond yang disepakati oleh beberapa investor pasca Inalum bersama Menteri BUMN melakukan roadshow.
(Baca : Bayar Saham Freeport, Global Bond Inalum US$4 Miliar Laris Dipesan Investor)
Anti-Trust Filing
Budi mengatakan saat ini Inalum masih melakukan proses anti-trust filling dari beberapa negara yang menjadi salah satu syarat dalam proses divestasi saham Freeport Indonesia.
Anti-trust filing adalah dokumen pelaporan persaingan usaha. Dari beberapa negara, Inalum sedang fokus membereskan dokumen ini di dua negara, yaitu China dan Filipina.
"Jadi empat yang mesti kita kejar sebelum transaksi, 2 sudah keluar dari Jepang dan Korea Selatan. Yang belum keluar dari Filipina dan China," ujarnya.
Dia menjelaskan dokumen ini sangat penting bagi Inalum dalam proses divestasi agar tidak dianggap melakukan kartel.
"Mereka melihat kalau ada corporate action dari perusahaan yang berkaitan dengan copper ingin pastikan tidak terjadi kartel sehingga menekan harga impor mereka. Itu harus kasih persetujuan kalau tidak boleh jual ke mereka. Misalnya di mata China itu impor. Izin keluar itu biar mereka bisa masuk ke China," ujar Budi.
Budi mengatakan dari sekian banyak negara yang perlu diurus, China menjadi salah satu negara yang cukup alot, karena proses approval dari negara ini membutuhkan waktu tidak sebentar.
"Yang paling lama biasanya di China. Pagi ini saya baru dari China, ketemu State Administration for Market Regulation (SAMR/lembaga anti trust china) untuk minta tolong supaya bisa dibantu diterbitkan lebih cepat dan mereka memberikan sinyal positif," ujar Budi.
Nantinya, kata Budi, masing-masing negara ini perlu mengeluarkan surat sebagai bentuk perizinan proses divestasi bisa dilakukan.
Negara negara yang dimaksud oleh Budi merupakan negara yang memang memiliki entitas dan hubungan bisnis dengan PTFI.
"Karena China itu impornya besar sekali untuk copper. Kalau Filipina, mereka punya smelter tembaga. Kalau tidak salah PTFI punya investasi di Filipina. Khusus copper iya," ujar Budi.
Untuk diketahui, holding Badan Usaha Milik Negara Pertambangan, PT Inalum (Persero), Freeport McMoRan Inc (FCX) dan Rio Tinto, pada Kamis, 27 September 2018 lalu meneken sejumlah perjanjian sebagai kelanjutan dari pokok-pokok perjanjian (head of agreement) terkait penjualan saham FCX dan hak partisipasi Rio Tinto di PT Freeport Indonesia (PTFI) ke Inalum yang sebelumnya sudah diteken 12 Juli lalu.
Sejumlah perjanjian tersebut meliputi perjanjian jual beli (sale and purchase agreement) atau divestasi saham PTFI, perjanjian jual beli saham Rio Tinto Indonesia (PTRTI), dan perjanjian pemegang saham PTFI. Penandatanganan dilakukan oleh Direktur Utama INALUM, Budi G. Sadikin dan CEO FCX, Richard Adkerson, disaksikan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Ignasius Jonan, Menteri BUMN Rini Soemarno, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK), Siti Nurbaya di Kementerian ESDM, Jakarta.
Dengan ditekennya perjanjian ini, maka jumlah saham Freeport Indonesia yang dimiliki Inalum akan naik dari sebelumnya 9,36 persen menjadi 51,23 persen. Pemda Papua akan memperoleh 10 persen dari 100 persen saham PTFI. Perubahan kepemilikan saham ini akan resmi terjadi setelah transaksi pembayaran US$3,85 miliar atau setara dengan Rp56 triliun kepada FCX diselesaikan sebelum akhir 2018.
Menteri ESDM, Ignasius Jonan mengatakan pasca SPA ini, maka Inalum akan melakukan transaksi jual beli saham dengan Freeport McMoran. Transaksi senilai US$3,85 miliar rencananya akan selesai dibayarkan pada akhir November 2018.
(K12/AM)