Bareksa.com - Indonesia mencatat defisit perdagangan US$1,52 miliar pada bulan Mei 2018, berayun dari surplus US$0,56 miliar pada periode yang sama tahun lalu, serta melenceng dari perkiraan pasar US$0,38 miliar, terutama disebabkan oleh lonjakan impor.
Kinerja Impor
Pada bulan Mei 2018, impor tercatat melonjak 28,12 persen menjadi US$17,64 miliar, menyusul kenaikan 35,2 persen di bulan sebelumnya dan melampaui perkiraan kenaikan 13,88 persen. Angka impor atau pembelian non-migas naik 23,77 persen menjadi US$14,83 miliar, serta minyak dan gas melonjak 57,17 persen menjadi US$2,82 miliar.
Sementara jika dibandingkan bulan sebelumnya, impor saat itu naik 9,17 persen. Angka pembelian non-migas meningkat 7,19 persen, minyak dan gas naik 20,95 persen.
Rinciannya di antaranya impor untuk bahan baku naik 9,02 persen menjadi US$13,11 miliar, barang modal naik 6,63 persen menjadi US$2,81 miliar, dan barang konsumsi naik 14,88 persen menjadi US$1,73 miliar.
Secara geografis, impor dari Cina naik 18,62 persen, kemudian dari Australia naik 19,62 persen, Taiwan (10,38 persen), Korea Selatan (8,79 persen), Jerman (2,83 persen), Singapura (7,42 persen), Thailand (25,56 persen), dan Italia (50,99 persen).
Sebaliknya, angka impor dari Amerika Serikat turun 14,81 persen, kemudian dari Jepang turun 1,29 persen, Malaysia (-5,98 persen), India (-12,9 persen), dan Belanda (-38,27 persen).
Kinerja Ekspor
Pada Mei 2018, angka ekspor tercatat meningkat 12,47 persen dari periode yang sama tahun sebelumnya menjadi US$16,12 miliar. Angka itu melampaui konsensus pasar yang diperkirakan naik 8,38 persen dan kenaikan bulan sebelumnya 9,57 persen.
Ekspor penjualan produk non migas naik 11,58 persen menjadi US$14,55 miliar, sementara minyak dan gas melonjak 21,47 persen menjadi US$1,57 miliar.
Jika dibandingkan bulan sebelumnya, ekspor naik 10,9 persen, karena produk non-migas meningkat 9,25 persen dan penjualan minyak dan gas melonjak 28,8 persen.
Berdasarkan kategori, ekspor naik untuk :
• Besi dan baja (45,67 persen);
• Mesin / peralatan listrik (14,79 persen);
• Bijih, kerak, dan abu logam (20,56 persen);
• Barang rajutan (38,09 persen), dan kaleng (200,74 persen).
Sebaliknya, ekspor menurun untuk :
• Perhiasan / permata (-16,83 persen);
• Pulp (-16,08 persen);
• Lemak dan minyak hewani / sayuran (-2,53 persen);
• Barang karet dan karet (-3,57 persen),
• Kapal (-71,41 persen).
Secara geografis, ekspor penjualan ke China melonjak 15,37 persen, kemudian ekspor ke AS naik 10,03 persen, Thailand (17,56 persen), Jerman (25,09 persen), Jepang (0,52 persen), Belanda (25,02 persen), India (8,97 persen), Italia (14,03 persen), dan Taiwan (54,47 persen).
Sebaliknya, ekspor ke Singapura turun 4,91 persen, Australia (-4,53 persen), Malaysia (-3,53 persen), dan Korea Selatan (-3,67 persen).
Alhasil secara lima bulan pertama di 2018, neraca perdagangan Indonesia mencatatkan defisit US$2,83 miliar, berayun dari surplus US$6 miliar pada periode yang sama tahun 2017.
Kondisi itu karena impor melonjak 24,75 persen menjadi US$77,77 miliar, sedangkan ekspor naik lebih lambat 9,65 persen menjadi US$74,93 miliar.
Rupiah Melemah
Nilai tukar rupiah ditutup di zona merah pada akhir perdagangan Senin, 25 Juni 2018, pasca rilis data neraca perdagangan bulan Mei 2018 yang mencatatkan defisit.
Rupiah ditutup melemah 73 poin atau 0,52 persen di Rp14.159 per dolar AS, setelah dibuka di zona merah dengan pelemahan 0,13 persen di posisi Rp14.104 per dolar AS.
Bersama rupiah, mayoritas mata uang di Asia melemah sore kemarin, dipimpin won Korea Selatan yang tedepresiasi 0,84 persen dan yuan China yang melemah 0,65 persen. Hanya yen Jepang yang menguat 0,45 persen.
Di sisi lain, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan kurs dolar AS terhadap sejumlah mata uang utama terpantau menguat 0,09 persen atau 0,086 poin ke level 94,606 pada sore kemarin.
Kepercayaan Investor Asing
Menurut analisis Bareksa, keluarnya modal asing dari pasar modal sejak awal tahun yang mencapai Rp48 triliun bukan semata karena faktor global seperti Fed Rate dan perang dagang tapi juga kinerja ekonomi domestik.
Seperti yang terbaru perihal neraca perdagangan yang kembali defisit US$1,52 miliar pada Mei 2018, artinya telah terjadi 4 kali defisit sejak Januari 2018.
Mengatasi pelemahan rupiah, langkah yang ditempuh Bank Indonesia untuk menaikkan suku bunga acuan akhirnya akan menjadi serba salah.
Jika efeknya tidak dinaikan, rupiah bisa menyentuh Rp14.600 per dolar AS atau terburuk sejak 2016. Jika dinaikkan juga akan menghambat pertumbuhan kredit dan kontraksi ke sektor riil.
Jika rupiah terdepresiasi defisit perdagangan dan transaksi berjalan akan terus berlanjut. Hal itu bisa menurunkan kepercayaan investor sehingga lebih memilih negara lain dengan ketahanan eksternal yang lebih baik.
(AM)