Bareksa.com – Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tengah mempertimbangkan mendorong BUMN menerbitkan obligasi hijau (green bond) sebagai alternatif pendanaan proyek. Saat ini baru ada dua perusahaan Indonesia yang sudah menyatakan minatnya menerbitkan green bond.
Deputi Bidang Restrukturisasi dan Pengembangan Usaha Kementerian BUMN, Aloysius Kiik Ro, menuturkan sejumlah BUMN di sektor pengembang pelabuhan dan bandar udara (Bandara) berpotensi menerbitkan green bond untuk menggalang dana.
Selain itu, proyek energi baru terbarukan (EBT) BUMN juga berpotensi menerbitkan green bond.
“Itu untuk BUMN yang memiliki proyek green related,” katanya di Jakarta, Rabu, 9 Mei 2018.
Dia memandang perusahaan harus mulai memperhatikan keberlangsungan lingkungan agar perusahaan bisa sustainable.
Penggalangan dana melalui green bond merupakan hal baru di Indonesia. Meski begitu, instrumen surat utang green bond ada di dunia keuangan sejak 2007.
Green bond pertama kali diperkenalkan kepada publik pada 2007. Selama lima tahun pertama setelah diperkenalkan, penerbitan green bond cenderung lesu.
Berdasarkan data Kementerian BUMN, total penerbitan green bond pada 2017, mencapai US$84,4 miliar. kemudian total penerbitan green bond periode 2014-2017 mencapai US$221 miliar.
Penerbitan green bond di dunia masih didominasi oleh mata uang dolar Amerika Serikat (AS). Selain dolar AS, mata uang yang digunakan dalam menerbitkan green bond di antaranya adalah yuan dan euro.
Sebagian besar penerbit green bond di dunia adalah sektor perbankan. Setelah mendapatkan dana melalui green bond, bank biasanya menyalurkan dana tersebut berupa pinjaman kepada perusahaan-perusahaan yang memiliki proyek ramah lingkungan.
Sejauh ini, tenor green bond di dunia masih didominasi dengan tenor pendek dan menengah. Tercatat, sebanyak US$105,5 miliar green bond bertenor 1-5 tahun dan US$89,4 miliar bertenor 6-10 tahun.
Presiden Direktur PT EBA Indonesia, Yudhi Ismail, menuturkan sebenarnya green bond dapat diterbitkan dengan tenor yang sangat panjang, yakni mencapai 30 tahun. Selain itu, proyek yang didanai green bond juga dapat dibiayai kembali (refinancing).
“Proyek ramah lingkungan yang sudah selesai dapat disekuritisasi, kemudian dana yang baru diperoleh dapat digunakan untuk proyek ramah lingkungan lainnya,” ujarnya.
EBA Indonesia merupakan perusahaan konsultan penerbitan green bond maupun sekuritisasi aset berbasis proyek ramah lingkungan.
Saat ini ada dua perusahaan yang sudah menyatakan berminat menerbitkan green bond. Satu perusahaan merupakan yang dimiliki oleh Ahmad Kalla, yakni PT Poso Energy. Perusahaan tersebut bergerak pada bisnis penyediaan listrik berbasis ramah lingkungan.
Menuru Yudhi, Poso Energy bakal menggunakan dana hasil penerbitan green bond untuk mengembangkan pembangkit listrik tenaga air.
Satu perusahaan lainnya adalah anak usaha badan usaha milik daerah (BUMD), yakni PT BIJB Aerocity Development. BIJB Aerocity mempertimbangkan menerbitkan green bond untuk pengembangan Bandara Kertajati tahap II pada 2023.
“Kami sedang mempelajari green bond, karena ada penilaian tertentu untuk green bond,” ujar Head of Division Business and Town Planning BIJB Aerocity, Emmy Ulfah Utami.
Pada dasarnya, pembangunan Bandara Kertajati telah memasukkan prinsip-prinsip green project. Tetapi untuk menerbitkan green bond, perseroan perlu memiliki sertifikasi green project. (AM)