Bareksa.com - The Institute for Energy Economics and Financial Anaysis (IEEFA) menilai rencana PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) menambah utang melalui penerbitan obligasi global hingga US$1 miliar tidak akan mulus. Hal itu terjadi karena kondisi keuangan perseroan dan kondisi pasar.
Melisa Brown, Analis IEEFA memandang, tanpa subsidi dari pemerintah, PLN pada dasarnya bukan tempat untuk berinvestasi. Dalam empat tahun terakhir, rata-rata PLN membukukan kerugian operasional sekitar US$2,1 miliar setiap tahunnya.
Pada periode 2014 - 2017, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menopang keuangan operasional PLN hingga US$22,9 miliar melalui subsidi. Dana subsidi tersebut dikucurkan untuk menutupi kerugian PLN karena biaya bahan bakar dan biaya independent power producer (IPP) yang terus meningkat.
Sepanjang 2017, PLN membukukan pendapatan US$18,55 miliar, namun biaya operasional mencapai US$20 miliar. Hal itu membuat PLN mencatatkan loss operating income US$1,47 miliar.
Lebih lanjut, menurut Melisa, selama ini rencana PLN sangat bertumpu pada pertumbuhan pembangkit batu bara. Hal itu menyebabkan risiko keuangan jangka panjang bagi perseroan ke depan.
“Sehingga membutuhkan dukungan terus menerus dari Kementerian Keuangan,” terangnya dalam risetnya, Rabu, 18 April 2018.
Kinerja Keuangan PLN 2014-2017 (Rp triliun/US$ miliar)
Sumber : materi presentasi IEEFA
Melisa juga menganggap, proses perencanaan PLN terlalu ambisius dan tidak transparan. Berdasarkan RUPTL 2018-2027, rencana perseroan terlalu ambisius dengan menetapkan asumsi pertumbuhan yang sangat optimistis.
Padahal, menurutnya di saat yang bersamaan realisasi penjualan listrik masih di bawah asumsi pertumbuhan. Selain itu, proses penyusunan RUPTL dianggap tidak terbuka.
Tahun ini, PLN menargetkan IPP yang terpasang mencapai 11.215 megawatt (MW). Sementara pada 2019 hingga 2021 diproyeksikan masing-masing terpasang 12.434 MW, 19.984 MW dan 26.191 MW.
Proyeksi Biaya IPP
Sumber : RUPTL PLN 2018/materi presentasi IEEFA
PLN juga dianggap memiliki performa keuangan kurang baik dibandingkan perusahaan serupa di kawasan. Hal tersebut ditunjukkan dengan nilai utang terhadap arus kas yang diproyeksikan akan mencapai tiga kali lebih tinggi dibandingkan perusahaan infrastruktur lain di Thailand dan Filipina pada 2020.
Melihat hal tersebut, pemberi pinjaman global dinilai mulai berhati-hati. Kondisi tersebut khususnya berlaku untuk investasi di sektor yang sangat bergantung pada subsidi publik. Peningkatan peringkat (rating) Indonesia bahkan dinilai tidak akan sanggup mengubah kondisi tersebut.
Meskipun rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) masih rendah, PLN akan kesulitan menambah utang dengan arus kas (cash flow) yang kurang baik. Investor surat utang juga berharap adanya peningkatan tarif, peningkatan subsidi dan turunnya biaya operasi.
Para investor juga akan semakin waspada terhadap negara-negara yang terjebak dengan batu bara. Hal itu terjadi karena bertentangan dengan tren pasar global yang mulai bergerser ke energi terbarukan.
Elrika Hamdi, Analis IEEFA, menambahkan laporan yang disusun lembaga IEEFA sebenarnya menjadi alarm bagi PLN karena ada potensi penerbitan obligasi global perseroan, realisasinya nanti bisa jauh dari harapan. (AM)