BeritaArrow iconBerita Ekonomi TerkiniArrow iconArtikel

Pertumbuhan Kredit Kuartal I 2018 Masih Melambat, Ini Penyebabnya

Bareksa19 April 2018
Tags:
Pertumbuhan Kredit Kuartal I 2018 Masih Melambat, Ini Penyebabnya
Seorang pegawai Bank Indonesia (BI) Perwakilan Provinsi Sulawesi Tenggara menunjukkan uang asli di Kendari, Sulawesi Tenggara. ANTARA FOTO/Jojon

Pada kuartal II 2018, pertumbuhan kredit baru diperkirakan akan meningkat

Bareksa.com - Hasiil survei perbankan Indonesia oleh Bank Indonesia menunjukkan, pertumbuhan kredit pada kuartal I 2018 melambat secara quarter to quarter (qtq). Hal ini terlihat dari saldo bersih tertimbang (SBT) permintaan kredit baru pada kuartal I 2018 sebesar 75,9 persen, lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 94,3 persen.

Berdasarkan data tersebut, melambatnya pertumbuhan kredit terjadi pada semua jenis kredit. Pada periode kuartal I 2018, SBT kredit modal kerja menurun dari 84,3 persen menjadi 71,9 persen, SBT kredit investasi menurun dari 84,2 persen menjadi 73,5 persen, serta SBT kredit konsumsi menurun dari 35 persen ke 16,6 persen.

Melambatnya pertumbuhan kredit konsumsi terutama disebabkan menurunnya permintaan kartu kredit, kredit kepemilikan rumah (KPR), dan kredit kendaraan bermotor (KKB). Menurunnya KKB sejalan dengan penurunan penjualan kendaraan bermotor.

Promo Terbaru di Bareksa

Pada kuartal II 2018, pertumbuhan kredit baru diperkirakan akan meningkat. Hal ini tercermin dari SBT permintaan kredit baru pada kuartal II 2018 sebesar 93,1 persen, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang sebesar 74,8 persen.

Menguatnya pertumbuhan kredit didorong oleh pertumbuhan kondisi ekonomi yang diperkirakan terus menguat, penurunan suku bunga kredit, dan penurunan risiko penyaluran kredit.

Pertumbuhan juga akan terjadi pada dana pihak ketiga (DPK) tercermin dari SBT pada kuartal II 2018 sebesar 89,2 persen, lebih tinggi dari kuartal sebelumnya yang sebesar 60 persen. Menguatnya pertumbuhan DPK terjadi pada deposito dan tabungan, sedangkan pertumbuhan giro akan melambat.

Sampai akhir tahun, responden masih optimistis pertumbuhan kredit bisa berada di angka 11,7 persen. Nilai tersebut lebih rendah dari perkiraan sebelumnya yang sebesar 11,8 persen, tetapi lebih tinggi dari realisasi 2017 yang sebesar 8,2 persen (year on year/yoy).

Kebijakan Makroprudensial

Di sisi lain, untuk mendorong pertumbuhan kredit, BI memperkenalkan instrumen kebijakan makroprudensial yang baru, yaitu Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dan Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM).

Berdasarkan keterangan tertulis dari BI, kebijakan ini tidak hanya diterapkan di bank konvensional, tetapi juga bank syariah. Kemudian, kedua kebijakan makroprudensial tersebut bersifat countercylical dan disesuaikan dengan perubahan kondisi ekonomi dan keuangan.

Lebih khusus, RIM adalah penguatan dari loan to funding ratio (LFR). Perbedaannya, RIM memasukkan investasi bank pada surat berharga yang memenuhi kriteria sebagai bentuk intermediasi kepada sektor riil.

Perhitungan RIM dengan memasukkan komponen surat berharga diharapkan bisa mendorong pendalaman pasar keuangan.

Selanjutnya, dalam perhitungan RIM ini, bank akan dikenakan disinsentif berupa setoran giro apabila tidak memenuhi ketentuan. Adapun pengenaan disinsentifnya adalah memiliki RIM di bawah batas range (<80 persen) dan RIM di atas ketentuan (>92 persen).

Secara ringkas mengenai poin pokok RIM adalah, batas atas 92 persen, batas bawah 80 persen dan CAR 14 persen. Adapun parameter disinsentif adalah untuk range bawah 0,1 dan atas 0,2.

Kemudian cakupan kredit dalam perhitungan RIM adalah kredit rupiah dan valas. Selain itu, termasuk pula DPK rupiah dan valas, tetapi tidak termasuk dana antar bank.

Selanjutnya, untuk sumber dana yang diperhitungkan dalam RIM adalah sebesar 100 persen obligasi, sukuk atau surat berharga yang ditawarkan melalui penawaran umum, memiliki peringkat setara peringkat investasi dan dioperasikan di lembaga berwenang.

Tidak hanya obligasi, tetapi juga bisa medium term notes (MTN), FRN dan obligasi selain obligasi subordinasi.

Sementara PLM adalah instrumen makroprudensial berbasis likuiditas yang bersifat countercyclical dan time-varying. PLM akan diterapkan sebagai pelengkap mikroprudensial LCR dan NFSR.

Kemudian, PLM merupakan penyempurnaan dari kebijakan sebelumnya yaitu GWM sekunder yang diharapkan mampu mengatasi permasalahan likuiditas perbankan.

Secara ringkas pengaturan untuk PLM, yakni 4 persen dari DPK bank baik konvensional atau syariah. Adapun komponen pemenuhannya adalah surat berharga dalam rupiah yang dapat digunakan dalam operasi moneter.

Sedangkan waktu pemenuhan kedua aturan tersebut, adalah mulai diberlakukan pada 16 Juli 2018 untuk bank konvensional. Sementara untuk bank syariah adalah pada 1 Oktober 2018. (K09/AM)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.382,65

Up0,56%
Up4,26%
Up7,54%
Up8,69%
Up19,21%
-

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.093,4

Up0,43%
Up4,43%
Up6,99%
Up7,44%
Up2,54%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.079,4

Up0,60%
Up3,98%
Up7,06%
Up7,74%
--

Capital Fixed Income Fund

1.844,45

Up0,53%
Up3,89%
Up6,66%
Up7,38%
Up17,02%
Up40,39%

Insight Renewable Energy Fund

2.270,42

Up0,81%
Up3,88%
Up6,54%
Up7,20%
Up20,19%
Up35,64%

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua