Bareksa.com - Industri semen tanah air masih diselimuti beberapa sentimen negatif, seperti keadaan oversupply yang masih terjadi sejak tahun 2012 lalu dan juga masih rendahnya permintaan dari pasar domestik sendiri. Ditambah lagi, persaingan antar perusahaan semakin ketat. Hal ini juga menjadi pemberat kinerja semua perusahaan tercatat di Bursa Efek Indonesia yang bergerak di sektor semen.
Berdasarkan data Asosiasi Semen Indonesia, volume penjualan semen domestik hingga Februari 2018 lalu terjadi peningkatan sebesar 8,1 persen menjadi 10,5 juta ton dibandingkan 9,7 juta ton periode yang saham tahun 2017 lalu. Peningkatan volume penjualan ini dikontribusikan oleh penjualan dari Pulau Jawa yang naik 7,1 persen menjadi 5,8 juta ton.
Sebagai catatan, penjualan di Pulau Jawa mengambil peran sebesar 56 persen terhadap total penjualan semen domestik. Selanjutnya, volume penjualan domestik ke Pulau Sumatera juga naik 13 persen menjadi 2,3 juta ton pada 2 bulan 2018 ini.
Sementara itu, volume penjualan domestik yang mengalami penurunan adalah penjualan ke Pulau Bali dan Nusa Tenggara yang turun 7,3 persen menjadi 539 ribu ton pada 2 bulan 2018.
Sumber: Asosiasi Semen Indonesia
Berdasarkan laporan tahun 2017 lalu, pangsa pasar semen domestik adalah dari segmen perumahan/residensial yang berkontribusi lebih dari 75 persen dengan dominasi dari semen kantong (bag cement) dan selebihnya adalah segmen infrastruktur dengan jenis semen curah (bulk cement). Jadi, dapat kita simpulkan kinerja dari sektor semen akan tercermin dari kinerja properti secara umum.
Sementara itu, dapat kita lihat kinerja dari sektor properti yang masih belum sepenuhnya pulih seperti beberapa tahun lalu, saat itu terjadi kenaikan harga komoditas yang menyebabkan daya beli masyarakat tinggi.
Sebagai informasi, konsumsi semen domestik secara per kapita pun masih cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Konsumsi semen per kapita Indonesia hanya sebesar 262 kg/kapita, lebih rendah dari negara lain seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia yang masing-masing sebesar 458 kg/kapita, 617 kg/kapita, dan 763 kg/kapita.
Hal ini menunjukkan bahwa masih besarnya peluang untuk industri semen domestik untuk terus berkembang kedepannya, dengan diimbangi oleh pertumbuhaan ekonomi dan kemampuan daya beli masyarakat secara umum.
Masih belum bergairahnya industri semen juga berdampak kepada emiten-emiten semen yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia, seperti PT Semen Indonesia (Persero) Tbk (SMGR) dan PT Indocement Tunggal Prakasa Tbk (INTP).
Sepanjang 2017 lalu, Semen Indonesia mengalami penurunan laba bersih sebesar 55,53 persen, padahal pendapatan naik tipis sebesar 6,4 persen. Begitu pula halnya dengan Indocement yang juga mengalami penurunan pendapatan sehingga laba bersih perseroan juga turun sebesar 52,2 persen.
Kinerja keuangan dari emiten-emiten semen ini juga tercermin dari penurunan harga saham SMGR dan INTP.
Grafik Pergerakan Harga Saham SMGR dan INTP Sebulan Terakhir
Sumber: Bareksa.com
Harga saham SMGR menunjukkan penurunan selama sebulan terakhir hingga 26 Maret 2018 sebesar 13,02 persen ke level harga Rp9.850 per lembar saham. Begitu pula dengan saham INTP yang juga menunjukkan penurunan sebesar 24,53 persen ke level harga Rp17.150 per lembar saham dalam periode yang sama. (hm)