BEI: Regulasi Sudah Akomodasi IPO Perusahaan Digital, Meski Masih Rugi

Bareksa • 20 Feb 2018

an image
Sejumlah pengemudi Gojek yang tergabung dalam Serikat Driver Gojek Makassar berunjuk rasa di depan kantor Gojek Cabang Makassar, Sulawesi Selatan, Rabu (2/12) (ANTARA FOTO/Abriawan Abhe)

Perusahaan yang masih rugi dan memiliki net tangible asset minimal Rp5 miliar dapat listing di BEI

Bareksa.com – Bursa Efek Indonesia menegaskan regulasi pasar modal Indonesia sudah dapat mengakomodasi perusahaan digital, seperti GO-JEK (PT Aplikasi Karya Anak Bangsa), untuk mencatatkan sahamnya (listing) di Indonesia. Perusahaan yang masih membukukan kerugian dan memiliki net tangible asset minimal Rp5 miliar dapat mencatatkan sahamnya di bursa.

Direktur Utama Bursa Efek Indonesia, Tito Sulistio, mengungkapkan sudah cukup lama peraturan tentang perusahaan yang rugi dapat listing di Bursa Efek Indonesia (BEI). Meskipun perusahaan tersebut masih membukukan kerugian, investor melihat potensi perusahaan tersebut ke depan.

“Banyak perusahaan yang listing di papan pengembangan awalnya kecil menjadi besar,” terang Tito di Jakarta, Selasa, 20 Februari 2018.

Tito mengungkapkan tidak masalah GO-JEK masih membukukan rugi. Asalkan, perusahaan tersebut mampu membuat proyeksi kapan akhirnya dapat memperoleh laba.

Berdasarkan peraturan di BEI, perusahaan yang masih rugi dapat listing di BEI asalkan perusahaan tersebut dapat memperoleh keuntungan dua tahun setelah mencatatkan sahamnya di BEI.

Tito menilai perusahaan yang memiliki potensi bagus masih boleh merugi asalkan memiliki proyeksi. BEI meminta jika bisa, setelah listing GO-JEK bisa meraih untung.

“Kalau 10 tahun baru untung kan tidak masuk akal,” terangnya.

Menurut Tito, investor sebenarnya tidak masalah dengan valuasi perusahaan digital karena investor membeli harapan. Selama masih ada harapan membukukan keuntungan, dia mengaku tidak masalah.

Di samping itu, investor juga memiliki persepsi masing-masing. Setiap orang memiliki persepsi kepada GO-JEK sehingga dia optimistis bakal ada yang tertarik membeli saham GO-JEK.

Pekan lalu, President dan Co-Founder GO-JEK, Andre Soelistyo, mengungkapkan perseroan tertarik menjadi perusahaan publik dalam dua tahun mendatang. Namun, dia menilai rencana tersebut masih terhambat oleh regulasi yang masih rigid.

Salah satu aturan yang dinilai masih menghambat perseroan adalah tentang perusahaan listing yang harus sudah untung. Sementara di luar negeri, aturan pelaksanaan penawaran umum perdana (initial public offering/IPO) saham dinilai lebih fleksibel bagi perusahaan digital seperti GO-JEK.

Menurut Andre, hal tersebut menjadi penghambat perusahaan seperti GO-JEK karena perusahaan masih muda dan sejarah finansialnya baru dibangun. Dia mengatakan perseroan berencana menyampaikan aspirasinya kepada BEI agar perusahaan rintisan dapat melantai di BEI.

Belum lama ini, PT Astra International Tbk (ASII) akhirnya memastikan diri melakukan investasi pada perusahaan penyedia layanan on-demand berbasis aplikasi, GO-JEK. Nilai investasi Astra di GO-JEK mencapai US$150 juta atau setara Rp2 triliun.

Astra menilai, GO-JEK yang telah menciptakan lapangan pekerjaan dengan jumlah pengemudi mencapai lebih dari 1 juta, 125.000 mitra usaha dan 30.000 penyedia jasa platform, memiliki visi yang sama dalam hal digitalisasi bisnis.

“Proses digitalisasi Astra bisa saling mengisi dengan GO-JEK,” ucap Presiden Direktur Astra Prijono Sugiarto.

Prijono mengatakan GO-JEK adalah pemain utama dalam ekonomi digital sehingga bisa mengakselerasi bisnis Astra di bidang digital. Pada ujungnya, baik Astra dan GO-JEK bisa mendukung perkembangan usaha mikro, kecil, dan menengah di Indonesia.

“Teknologi memiliki peran yang penting untuk mencapai tujuan itu. Sehingga kami yakin akan daya transformasi perusahaan yang fokus pada digital seperti GO-JEK,” imbuh Prijono.

Chief Executive Officer sekaligus Founder GO-JEK Nadiem Makarim menambahkan keberadaan Astra menunjukkan bentuk pengakuan tersendiri atas keberhasilan strategi GO-JEK. Selain itu, Nadiem yakin Astra dan GO-JEK bisa bersama-sama mengakselerasi perkembangan ekonomi serta meningkatkan hajat hidup jutaan penduduk Indonesia.

“Kami melayani middle up class sekaligus memfasilitasi orang-orang yang butuh penghasilan. Maka kami gabungkan dua segmen itu dan sejalan dengan Astra,” kata Nadiem.

Prijono menambahkan masuk ke GO-JEK adalah investasi yang menarik. Artinya, Astra tidak serta merta langsung mengharapkan return on investment tersebut karena investasi pada GO-JEK adalah investasi jangka panjang.

“Yang penitng adalah memberikan nilai tambah bagi kedua pihak (Astra dan GO-JEK),” jelas Prijono. (AM)