BeritaArrow iconKategoriArrow iconArtikel

Defisit Neraca Dagang 3 Bulan Berturut Perlu Diwaspadai

16 Maret 2018
Tags:
Defisit Neraca Dagang 3 Bulan Berturut Perlu Diwaspadai
Sejumlah kapal melakukan bongkar muat barang di pelabuhan Belawan International Container Terminal (BICT) yang dikelola Pelindo I, di Medan, Sumatera Utara, Minggu (3/9). Realisasi volume bongkar muat Pelindo I sepanjang Semester I 2017 mencapai 27,5 juta ton atau meningkat 44,78 persen dibanding periode yang sama tahun lalu. (ANTARA FOTO/HO/Arya)

Pada Februari 2018, neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit US$ 116 juta

Bareksa.com - Defisit neraca perdagangan dalam tiga bulan berturut-turut hingga Februari 2018 adalah hal yang patut disayangkan. Hal ini berpotensi mengerek turun pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama tahun ini.

Badan Pusat Statistik (BPS) secara resmi telah merilis angka neraca perdagangan bulan Februari 2018 pada hari Kamis, 15 Maret 2018. Data menunjukkan, bahwa neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit US$116 juta, atau yang ketiga berturut-turut sejak Desember tahun lalu.

Data BPS juga menunjukkan bahwa akumulasi defisit dalam dua bulan pertama 2018 mencapai US$780 juta. Padahal, di periode yang sama tahun sebelumnya, neraca perdagangan tercatat surplus US$2,69 miliar.

Promo Terbaru di Bareksa

Seperti terlihat di dalam grafik, defisit pada bulan Februari ini lebih kecil dibandingkan bulan sebelumnya. Meskipun nilai defisit tersebut terlihat lebih kecil dibandingkan bulan Januari 2018, ini perlu menjadi perhatian dan peringatan bagi pemerintah.

Grafik Perbandingan Neraca Perdagangan Indonesia

Illustration

Sumber: BPS, diolah Bareksa.com

Defisit neraca perdagangan dalam tiga bulan berturut-turut ini merupakan kejadian pertama kalinya sejak 2014. Untuk itu, pemerintah seharusnya mulai mengambil langkah agar defisit ini tidak berpengaruh ke pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Namun, sepertinya pemerintah sudah terlambat untuk membalikkan keadaan. Sebab, defisit sepanjang dua bulan pertama 2018 akan mengerek turun pertumbuhan ekonomi di triwulan pertama tahun ini.

Tak hanya itu, proteksi atas ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya juga bisa menghalangi ekspor Indonesia yang tahun kemarin memiliki kinerja cemerlang.

Defisit neraca perdagangan juga harus segera diatasi karena bisa memperlebar defisit transaksi berjalan. Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) memprediksi bahwa defisit transaksi berjalan akan mencapai 2,1 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau lebih rendah ketimbang tahun sebelumnya 1,7 persen.

Maka itu, pemerintah perlu mengantisipasi defisit dengan tidak bergantung pada ekspor komoditas dan fokus pada ekspor manufaktur. Ini dimaksudkan agar Indonesia tak terlalu terdampak signifikan akibat fluktuasi harga komoditas.

Mengacu pada data BPS, defisit tersebut lantaran disebabkan oleh nilai impor yang lebih tinggi dibandingkan nilai ekspor, yaitu US$14,21 miliar (impor) berbanding dengan US$14,10 miliar (ekspor). Sejatinya, neraca perdagangan Indonesia pada bulan Februari 2018 tercatat surplus dari sektor non migas sebesar US$753,7 juta. Namun surplus tersebut terhapuskan oleh defisit sektor migas sebesar US$869,7 juta.

Peningkatan impor sebagian besar (75 persen) didorong oleh belanja bahan baku dan bahan penolong, yang merupakan indikasi terjadinya peningkatan aktivitas industri manufaktur di dalam negeri. Sayangnya, hal tersebut juga menunjukkan tingginya tingkat ketergantungan industri domestik terhadap bahan baku impor

Kondisi tersebut menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera menempatkan upaya peningkatan daya saing industri manufaktur secara komprehensif sebagai agenda utama ke depan.

Defisit yang dialami Indonesia seolah menjadi kebiasaan yang terulang di kala ekonomi sedang terakselerasi bergerak naik. Ketika ekonomi menunjukkan pertumbuhan, kebutuhan bahan baku dan barang modal akan meningkat yang mana hal ini menyebabkan impor melonjak akibat suplai industri dalam negeri yang belum mampu mencukupi kebutuhan tersebut.

Hal tersebut tercermin dari data Impor bahan baku yang tumbuh 23,76 persen selama periode Januari hingga Februari jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu, sementara barang modal tumbuh lebih cepat lagi yaitu 31,16 persen

Adapun menurut BI, tingginya nilai impor disebabkan oleh ekspektasi pertumbuhan ekonomi yang lebih baik pada tahun 2018. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun ini di kisaran 5,1-5,5 persen, lebih baik dibandingkan realisasi pertumbuhan tahun 2017 sebesar 5,07 persen.

Ketika impor melonjak, maka aktivitas pengiriman barang dari luar negeri pastinya juga ikut naik. Maka biaya pengiriman (freight) akan ikut naik, yang akhirnya memberikan tekanan terhadap neraca jasa.

Neraca perdagangan dan neraca jasa merupakan komponen dari transaksi berjalan (current account), sebuah neraca yang menggambarkan arus devisa di sebuah negara dari sektor riil. Ketika transaksi berjalan surplus, maka devisa yang tersedia cukup memadai, sementara ketika defisit maka yang terjadi adalah sebaliknya. (hm)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.384,88

Up0,21%
Up4,05%
Up7,72%
Up8,08%
Up19,46%
Up38,34%

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.095,38

Up0,14%
Up4,09%
Up7,18%
Up7,47%
Up3,23%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.084,98

Up0,55%
Up4,00%
Up7,61%
Up7,79%
--

Capital Fixed Income Fund

autodebet

1.853,59

Up0,53%
Up3,86%
Up7,19%
Up7,36%
Up17,82%
Up41,07%

Insight Renewable Energy Fund

2.287,69

Up0,82%
Up4,11%
Up7,35%
Up7,53%
Up19,98%
Up35,83%
Tags:

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua