Bareksa.com - Ketika pertemuan kebijakan bank sentral AS The Fed berakhir bulan lalu, indeks saham AS berada di dekat rekor tertinggi, volatilitas pasar hampir tidak ada dan pembuat kebijakan berbicara tenang menyambut kepala bank sentral baru yang masuk, Jerome Powell.
Sekarang, pengganti Janet Yellen tersebut mungkin akan menghadapi ujian awal kepemimpinannya karena The Fed memiliki faktor penting dari penurunan pasar baru-baru ini. Lonjakan imbal hasil obligasi jangka panjang serta risiko kebijakan pajak dan pengeluaran Trump yang berlaku mungkin menyebabkan inflasi yang cepat secara tak terduga.
Pandangan Powell akan menjadi lebih jelas saat dia memberi pernyataan secara terpisah sebelum anggota parlemen di Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat AS pada hari Minggu 28 Februari, dan mengadakan konferensi pers pertamanya sebagai kepala The Fed setelah pertemuan kebijakan pada tanggal 20 hingga 21 Maret mendatang.
Investor memperkirakan bank sentral akan menaikkan suku bunga pada pertemuan bulan Maret.
Data inflasi AS yang baru akan dirilis pada hari Rabu juga dapat mengindikasikan apakah laju kenaikan harga akan meningkat, yang merupakan kabar baik bagi bank sentral yang telah berjuang untuk mencapai target inflasi tahunan 2 persen (kecuali jika terjadi terlalu cepat). (Lihat Angka Inflasi AS, Suku Bunga The Fed dan Dampaknya ke Pasar Saham)
Sementara itu, ekonom UBS Seth Carpenter, seperti dikutip dari Investing.com, memperkirakan gejolak pasar bulan ini akan mengkhawatirkan dan menyebabkan banyak kepanikan. Dia juga mengatakan tidak mungkin Powell menunda kenaikan suku bunga Maret untuk menenangkan pasar keuangan.
Namun, menurutnya, aksi jual di pasar tersebut membuat The Fed dalam kebingungan untuk menentukan apakah gejolak pasar yang tiba-tiba terjadi lebih penting daripada kebijakan baru-baru ini tentang pemotongan pajak atau kenaikan yang diharapkan dalam defisit pemerintah AS
Pekan lalu, Kongres AS telah digelar dan Presiden Donald Trump menandatangani sebuah kesepakatan sementara yang diperkirakan akan mendorong defisit anggaran melewati US$1 triliun per tahun dengan pengeluaran militer dan domestik yang baru.
Pada hari Senin, Trump mengusulkan anggaran yang meminta pengeluaran US$57 miliar lebih sedikit pada tahun fiskal 2019, daripada yang diminta dalam kesepakatan minggu lalu.
Kenaikan risiko
Rekan-rekan Powell di Fed sejauh ini mengatakan bahwa bank sentral harus tetap bertahan, dengan secara bertahap menaikkan suku bunga di sepanjang jalur yang telah ditetapkan Yellen dan tidak bereaksi terhadap gejolak pasar baru-baru ini atau langsung mengambil kesimpulan tentang dampak pemotongan pajak dan defisit yang lebih tinggi terhadap inflasi.
Akan tetapi, mereka juga menjelaskan bahwa mereka juga tetap memperhatikan hal-hal di atas, yang akan membuat bulan pertama Powell sebagai kepala The Fed menjadi lebih kompleks daripada yang mereka bayangkan pada beberapa minggu yang lalu.
"Ada risiko yang lebih menonjol terhadap perkiraan daripada yang telah kita lihat dalam beberapa waktu," kata Presiden Fed Cleveland Loretta Mester kepada wartawan pada hari Selasa setelah pidato di Dayton, Ohio.
Pernyataan tersebut menandakan adanya kemungkinan pembelanjaan ekstra yang dihasilkan dari pemotongan pajak dan kenaikan dalam defisit anggaran bisa menurunkan prospek The Fed untuk pertumbuhan, inflasi dan aspek ekonomi lainnya. Menurutnya, penting untuk mengevaluasi bagaimana respon dari perusahaan dan rumah tangga.
"Siapa tahu? Pasar keuangan mungkin akan mengalami risiko penurunan jika kita berkeyakinan terjadinya pullback. Kami belum melihatnya sejauh ini, saya tidak mengantisipasi hal itu," kata Mester dikutip dari Investing.com.
Saat pasar saham merosot pekan lalu, Presiden Fed San Francisco John Williams mengatakan bahwa dia merasa investor sedang mengejar ketertinggalan, dan pada akhirnya menerima fakta bahwa bank sentral akan terus menaikkan suku bunga dan meningkatkan investasi saham dan obligasi.
"Saya pikir beberapa reaksi pasar adalah kenyataan bahwa ekonomi berjalan dengan baik," kata Williams. Dia juga menyebutkan kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang mungkin tertunda, pertumbuhan ekonomi global akan berlanjut dan bank sentral akan menaikkan suku bunga sebagai hasilnya. (hm)