Bareksa.com - The Economist Intelligence Unit memberikan pandangan pesimistis terhadap ekonomi Indonesia pada 2018. Sejumlah faktor baik domestik maupun eksternal menjadi dasar dari proyeksi ekonomi Indonesia sepanjang tahun ini.
Penerbit yang berbasis di Inggris tersebut dalam risetnya memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 sebesar 5,1 persen, lebih rendah dibandingkan dengan yang ditargetkan pemerintah dalam anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN 2018) sebesar 5,3 persen. Bahkan, realisasi pertumbuhan untuk tahun 2017 juga diperkirakan hanya 5,0 persen, di bawah target APBNP 5,2 persen.
The Economist dalam publikasi yang berjudul "Country Forecast Indonesia" mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan tetap di bawah potensinya, karena reformasi strtuktur yang lambat dan permintaan global yang melambat untuk komoditas. Namun, program pemerintah yang berfokus pada infrastruktur diperkirakan dapat menjaga pertumbuhan investasi tetap stabil.
Kemudian, konsumsi swasta juga masih menjadi kunci penopang pertumbuhan ekonomi. "Kami memperkirakan rata-rata pertumbuhan PDB riil sebesar 5,1 persen setahun dalam periode 2018-2022," tulis riset tersebut.
Angka proyeksi tersebut menunjukkan pandangan yang pesimis bila dibandingkan dengan prediksi dari lembaga lainnya, seperti Bank Dunia. Lembaga internasional itu memperkirakan pertumbuhan PDB riil sebesar 5,1 persen untuk 2017 dan menguat menjadi 5,3 persen pada 2018, didorong kelanjutan pertumbuhan investasi yang kuat dan pemulihan konsumsi secara berangsur.
Padahal, sebelumnya Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, mengungkapkan perkiraan perekonomian Indonesia di 2017 tumbuh di 5,05 persen terutama disumbangkan oleh konsumsi dalam negeri, investasi, dan kinerja ekspor.
The Economist juga memperkirakan transaksi berjalan masih akan mencatatkan defisit karena semakin membesarnya defisit dalam pendapaan primer. "Kami memperkirakan biaya pinjaman eksternal meningka seiring dengan kebijakan pengetatan moneter di AS," kata riset itu.
Neraca dagang barang masih tetap surplus, tetapi masih jauh di bawah level tertinggi historikal dan terlalu kecil untuk menutup defisit dalam neraca jasa dan pendapatan primer. "Kami memperkirakan rata-rata defisit transaksi berjalan akan sekitar 1,9 persen terhadap PDB pada 2018-2022."
(Lihat Indonesia Catat Surplus Perdagangan 2017, BI Optimis Neraca Terus Membaik)
Hal lain yang menjadi perhatian The Economist adalah status investment grade dari tiga lembaga pemeringkat internasional yang pertama kali sejak krisi Asia 1997-1998. Menurut riset itu, status layak investasi bisa menopang rupiah dan mengurangi volatilitas. Akan tetapi, mata uang ini tetap akan terdepresiasi rata-rata 2,5 persen per tahun terhadap dolar AS pada 2018-2019 karena selisih suku bunga acuan Indonesia dan AS mengecil, yang membuat aset berdenominasi rupiah kurang menarik bagi investor internasional.
Sisi positif yang dilihat oleh The Economist adalah keberhasilan pemerintahan Jokowi dalam menjaga stabilitas ekonomi dan mengurangi berbagai hambatan struktural. Namun, hambatan serius bagi produktivitas, seperti aturan yang terkait politik masih sulit diatasi. (Baca Sri Mulyani : Peluang dan Risiko Tahun Pemilu Bagi Ekonomi) (hm)