Bareksa.com – Saham PT Rimo International Lestari Tbk (RIMO) menjadi sorotan sejumlah investor, karena telah naik dan turun signifikan dalam jangka waktu cukup pendek. Apalagi, saham emiten yang baru saja mengubah haluan bisnis ke sektor properti ini juga melakukan aksi korporasi penambahan modal (placement) oleh pemegang saham terbesarnya, yakni Benny Tjokrosaputro.
Hanya dalam waktu sepekan saja pada periode 18-25 Oktober 2017, harga saham RIMO telah melonjak 39 persen. Namun, dalam kurang dari dua pekan selanjutnya, saham RIMO menyusut hingga tinggal sepertiganya saja. Dari level tertinggi yang diraih pada 27 Oktober 2017, saham RIMO meluncur turun ke Rp192 pada 8 November 2017.
Sejumlah investor pun mempertanyakan alasan atau sebab dari pergerakan saham RIMO yang signifikan ini. (Baca Mengintip Rencana Benny Tjokro Setelah Jadi Pengendali RIMO)
Historikal Harga Saham RIMO Setahun Terakhir
Sumber : Bareksa.com
Benny pun menjelaskan pada waktu right issue RIMO, tidak banyak masyarakat yang ikut menyerap, hanya sekitar Rp300 miliar. "Karena supply nya masih sedikit, maka sahamnya secara teoritical akan naik sendiri,” kata Benny dalam sebuah forum investor di Jakarta 22 Januari 2018.
Sebagai informasi, RIMO menggelar aksi rights issue pada awal tahun 2017 dengan nilai raihan dana Rp4,1 triliun. Aksi korporasi rights issue tersebut menawarkan harga pelaksanaan Rp101 per lembar dengan rasio 5 : 597. Tingginya rasio tersebut berdampak pada adanya dilusi mencapai 99 persen apabila pemegang saham lama memilih untuk tidak mengeksekusi haknya.
Meski begitu, menurut Benny ada satu poin yang mungkin salah dianalisa pada waktu itu. "Ketika saya dan beberapa investor lain melakukan placement. Kita berharap dengan memberi diskon kepada investor semua bisa untung dan market-nya bisa balanced sendiri," ujar dia.
Dalam prospektus rights issue dijelaskan bahwa pihak-pihak yang akan menjadi standby buyer apabila saham RIMO tidak diserap oleh pemegang saham lama ialah Benny Tjokrosaputro sebesar Rp3,2 triliun, Teddy Tjokrosaputro Rp284,08 miliar, Anne Patricia Sutanto Rp355,1 miliar, dan Ludjianto Setijo Rp106,53 miliar. Dana yang diraih dari aksi korporasi senilai Rp4,1 triliun ini mayoritas akan digunakan untuk mengakuisisi perusahaan properti dan menjadi jalan untuk mengubah lini bisnis perseroan.
Rights issue sudah selesai dilaksanakan. Hasilnya pun sudah diumumkan oleh perseroan dalam keterbukaan informasi tertanggal 4 April 2017. Dari jumlah saham baru yang ditawarkan sebanyak 40,59 miliar lembar, hanya sekitar 1,54 miliar atau 3,8 persen yang dieksekusi oleh pemegang saham lama. Sisanya, sebanyak 39,05 miliar lembar tidak terserap di pasar, sehingga secara otomatis saham-saham yang tidak terserap akan dieksekusi oleh standby buyer, yakni Benny Tjokro dan keluarga.
“Di luar dugaan, entah mungkin diskonnya kebanyakan atau apa, yang dapat barang malah investor harian bahkan jam-jaman, yang ibaratnya dapat barang maunya langsung jual sehingga supply jadi mendadak banyak sehingga terjadi banting-bantingan harga. Nah itu, saya rasa turunnya di situ,” tambah Benny.
Namun, Benny tetap memberikan saran terkait harga pasar RIMO saat ini yang terbilang masih lebih baik dibandingkan dengan harga pelaksanaan right issue nya.
“Tetapi apapun yang terjadi, harga RIMO sekarang masih berada di atas harga right issue, dan saya bukan emiten atau manajemen, saya hanya pemegang saham paling besar aja, kalau harga saham nya turunnya terlalu banyak, ya saya pasti beli balik, di bikin simple aja menurut saya,” tutup dia.
Pasca rights issue, Benny pun perlahan-lahan menjual saham RIMO sehingga kepemilikan publik bertambah. Benny Tjokrosaputro, yang tercatat sebagai pemegang saham pengendali emiten tersebut, telah menjual separuh dari kepemilikannya di RIMO dalam waktu tujuh bulan. Berdasarkan data bursa, kepemilikan Benny di RIMO sekarang tinggal 29,3 persen saja dibandingkan 76,47 persen per 31 Maret 2017. (hm)
DISCLAIMER
Semua data return dan kinerja investasi yang tertera di dalam artikel ini tidak dapat digunakan sebagai jaminan dasar perhitungan untuk membeli atau menjual suatu efek. Data-data tersebut merupakan catatan kinerja berdasarkan data historis dan bukan merupakan jaminan atas kinerja suatu efek di masa mendatang. Investasi melalui saham mengandung risiko. Investor wajib membaca dan memahami kinerja keuangan saham tersebut