Bareksa.com - Bank Indonesia menjaga kondisi moneter dalam negeri tanpa mengubah suku bunga, tetapi menaikkan aturan giro wajib minimum. Kebijakan bank sentral tersebut untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik atau makroprudensial.
Bank Indonesia (BI) menetapkan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan BI 7-Day Reverse Repo Rate pada level 4,25 persen. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) 18 Januari 2018. Dengan demikian, deposit facility tetap di level 3,5 persen dan lending facility tetap di level 5 persen, berlaku efektif sejak 19 Januari 2018.
Direktur Eksekutif Departemen Komunikasi BI Agusman menjelaskan, kebijakan tersebut konsisten dengan terjaganya stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan serta turut mendukung pemulihan ekonomi domestik.
Sebagai informasi, ada beberapa cara Bank Indonesia untuk menstabilkan perekonomian, dalam hal ini mengatur stabilitas inflasi melalui kebijakan moneter, yakni seperti kebijakan GWM, Suku Bunga, maupun Operasi Pasar Terbuka (OPT). Dalam hal ini, BI dalam RDG memutuskan untuk mempercepat implementasi Giro Wajib Minimum (GWM) rata-rata sebagai kelanjutan dari reformasi kerangka operasional kebijakan moneter. Sebagai informasi, GWM merupakan dana minimum bank yang disimpan di bank sentral.
Dalam kebijakan kali ini, Bank sentral mengambil kebijakan untuk mengurangi uang yang beredar dengan meningkatkan dan menetapkan persediaan uang kas pada bank-bank. Dengan tujuan mengurangi jumlah uang beredar, agar nantinya inflasi dapat ditekan.
"Hal ini bertujuan untuk meningkatkan efektivitas transmisi kebijakan moneter, mendukung fleksibilitas manajemen likuiditas perbankan, dan sekaligus mempercepat pendalaman pasar keuangan," ujarnya dalam keterangan tertulis, Kamis (18 Januari 2018).
Dari total GWM Rupiah bank umum konvensional sebesar 6,5 persen dari Dana Pihak Ketiga (DPK), porsi GWM Rata-rata diperlonggar dari 1,5 persen menjadi 2 persen dari DPK. Sementara itu, dari total GWM Valas bank umum konvensional sebesar 8 persen dari DPK, porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2 persen dari DPK. Untuk bank umum syariah dan Unit Usaha Syariah (UUS), dari total GWM Rupiah sebesar 5 persen dari DPK, porsi GWM Rata-rata mulai diberlakukan sebesar 2 persen dari DPK.
Porsi GWM yang lebih besar memungkinkan lebih banyak likuiditas di bank sentral. Pada akhirnya, hal ini menahan uang beredar di masyarakat tanpa harus menaikkan suku bunga acuan.
Selain itu, dalam rangka mendorong fungsi intermediasi dan pengelolaan likuiditas perbankan, RDG memutuskan untuk menyempurnakan kebijakan makroprudensial melalui pemberlakuan dua ketentuan.
Pertama, mengubah ketentuan Loan to Funding Ratio (LFR) bagi Bank Umum Konvensional (BUK) dan ketentuan Financing to Deposit Ratio (FDR) bagi Bank Umum Syariah (BUS) dan Unit Usaha Syariah (UUS) menjadi Rasio Intermediasi Makroprudensial (RIM) dengan target kisaran 80-92 persen serta memperluas komponen kredit/pembiayaan yang memasukkan Surat-Surat Berharga (SSB) yang dibeli oleh bank dan memperluas komponen simpanan dengan memasukkan SSB yang diterbitkan oleh BUS dan UUS.
Kedua, mengubah ketentuan GWM sekunder bagi BUK menjadi Penyangga Likuiditas Makroprudensial (PLM) dan memberlakukan PLM bagi BUS dengan besaran 4 persen dari DPK, dengan disertai fleksibilitas sebesar 2 persen dari DPK dapat direpokan kepada Bank Indonesia dalam kondisi tertentu untuk memenuhi kebutuhan likuiditas bank.
"Kedua instrumen makroprudensial tersebut bersifat countercyclical yang dapat disesuaikan sejalan dengan siklus ekonomi dan keuangan," kata dia. (K09)