Bareksa.com - Pemerintah Arab Saudi untuk pertama kalinya akan menerapkan pajak untuk warganya. Langkah ini diambil setelah harga minyak dunia sebagai sumber pemasukan utama pendapatan negara Arab Saudi menurun drastis.
Kantor berita Arab Saudi, Saudi Press Agency, mengatakan dekrit kerajaan Saudi soal penetapan pajak pertambahan nilai atau PPN untuk pertama kalinya di negara itu akan segera dikeluarkan. (Baca : Membuka Tahun 2018, Harga Minyak Tembus US$60 per Barel)
Dalam pernyataannya, pemerintah Saudi akan menerapkan PPN 5 persen untuk beberapa jenis barang seperti makanan, pakaian, barang elektronik dan bensin, tagihan telepon, air dan listrik, serta pemesanan hotel mulai tahun 2018 ini. Keputusan Saudi ini sesuai dengan rekomendasi IMF untuk menambah pemasukan di sektor non minyak.
Ekonomi Arab Saudi mulai merosot sejak harga minyak turun drastis pada 2014, dari sekitar US$100 per barel jadi sekitar US$29 per barel, dan belakangan harga minyak mulai pulih di angka US$60 per barel. (Baca Juga : Harga Minyak Merangkak Naik, Ini Dampaknya ke Inflasi Indonesia).
Historikal Harga Minyak Dunia (US$/Barrel)
Sumber : Tradingeconomics.com
Hal tersebut justru membuat pendapatan negara dengan sistem pemerintahan kerajaan ini terus merosot sehingga berdampak pada pengeluaran pemerintah yang lebih besar ketimbang pemasukan negara atau dengan kata lain current account deficit (CAD). (Baca : Tren Kenaikan Harga Minyak : Antara Pemerintah Untung dan Pertamina Buntung?)
Sekedar informasi, CAD Arab Saudi saat ini kian melebar di mana hingga akhir September 2017 telah mencatatkan CAD defisit 48,7 miliar SAR. Dengan rincian penerimaan negara 142 miliar SAR dan beban pengeluaran pemerintah mencapai 190 miliar SAR. (Lihat : Arab Saudi & Rusia Pangkas Produksi Minyak, Saham MEDC Menguat 8,8%)
Pendapatan Pemerintah Arab Saudi (SAR Miliar)
Sumber : Saudi Arabian Monetary Agency, Mov.gov.sa diolah Bareksa
Berdasarkan grafik diatas, tidak dipungkiri jika pendapatan negara produsen minyak terbesar di dunia ini tengah dalam kondisi memprihatinkan. Hal itu dapat terlihat dimana pendapatan negara Arab Saudi sejak puncaknya di 2012 menurun dari 1.247 miliar SAR menjadi hanya 142 miliar SAR di kuartal III tahun ini. Atau dengan kata lain, pendapatan negara Arab Saudi dalam enam tahun terakhir atau sejak 2012 melemah 30,38 persen secara rata-rata di setiap tahunnya (CAGR). (Baca : Arab Saudi Berkomitmen Investasi US$1 Miliar, Indonesia Diuntungkan? Ini Datanya)
Mengutip website Kementerian Keuangan Arab Saudi, sektor minyak masih menjadi sektor utama sumber pendapatan pemerintah di mana kontribusinya hingga 66 persen dari pemasukan negara hingga akhir September 2017. Karena itu, tidak ada cara lain selain meningkatkan sumber pendapatan di luar minyak (non oil revenues). (Lihat : Kuota Haji Indonesia Bertambah, Dorong Pendapatan Pariwisata Arab Saudi?)
Grafik : Breakdown Pendapatan Pemerintah Arab Saudi per Q3-17
Sumber : Kementerian Keuangan Arab Saudi
Saudi menyadari ketergantungan mereka akan minyak akan berdampak buruk di masa mendatang. Untuk itulah kerajaan Saudi menetapkan target tahun 2030 bebas dari ketergantungan pada minyak. (Baca : RI Berharap Investasi Dari Raja Salman, Ini Kondisi Arab Saudi Yang Sebenarnya)
Berdasarkan rencana yang diumumkan pada April tahun lalu, Saudi akan meningkatkan pemasukan di sektor non minyak hingga enam kali lipat menjadi US$266 miliar pada 2030, menjual sebagian saham perusahaan minyak nasional Aramco, dan menciptakan dana publik US$1,9 triliun untuk investasi di dalam dan luar negeri. (AM) (Lihat : Arab Saudi Akan IPO Aramco, Asetnya Hingga US$2 Triliun?)