Bareksa.com – Anggaran negara untuk tahun depan sudah disahkan oleh parlemen, dengan sejumlah pos yang dinilai efisien dan diharapkan tepat sasaran bagi pembangunan Indonesia seperti anggaran pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur. Salah satu yang menarik adalah pemerintahan Presiden Joko Widodo mengurangi subsidi di tahun terakhir sebelum masa jabatannya berakhir.
Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) baru saja mengesahkan Undang-Undang (UU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018. Dalam APBN tersebut, pemerintah menganggarkan penerimaan Rp1.894,7 triliun dan belanja negara Rp2.220,7 triliun, serta mematok defisit anggaran 2,19 persen terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) atau setara dengan Rp325,9 triliun.
Menurut analisis Bareksa, PDB Indonesia di tahun depan ditargetkan mencapai Rp14.881,3 triliun mengacu pada materi konferensi pers APBN 2018. Satu hal yang menarik ialah dari pos-pos anggaran subsidi khususnya subsidi energi dimana pemerintah masih terus melakukan penurunan subsidi.
Seperti terlihat di dalam grafik, pemerintahan Jokowi menjaga rasio subsidi terhadap PDB di bawah 4 persen sejak awal masa kepemimpinannya. Bahkan, di tahun 2018 yang merupakan setahun sebelum periodenya berakhir, pemerintahan Jokowi justru konsisten menekan rasio ini di 1,5 persen.
Sebagai catatan, tahun 2018 merupakan tahun terakhir pemerintahan Jokowi – JK memimpin sebelum digelarnya pemilihan umum (Pemilu) Presiden dan Wakil Presiden pada tahun 2019.
Padahal, kondisi tersebut berbeda bila kita bandingkan dengan pemerintahan sebelumnya, yakni masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Dalam dua periode kepemimpinannya, rasio anggaran subsidi terhadap PDB persentasenya cenderung di atas rata-rata di masa akhir periode Presiden menjabat dalam kurun waktu 5 tahun atau periode Pemilu.
Grafik : Perbandingan Anggaran Subsidi Terhadap PDB di Tiga Masa Pemerintahan
Sumber : Ashmore, Kemenkeu, diolah Bareksa
Sekedar informasi, anggaran subsidi energi di tahun 2018 dipatok Rp94,5 triliun atau turun Rp8,8 triliun dibanding RAPBN 2018, dengan subsidi BBM dan LPG Rp46,9 triliun sedangkan subsidi listrik dipatok Rp47,7 triliun.
Semakin rendah rasio subsidi terhadap PDB menggambarkan semakin besar ruang pemerintah untuk mengalokasikan anggaran di sektor lain yang mampu menopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Jika ini terjadi, hal itu bisa berpotensi menaikkan konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah sebab berdasarkan data historis, menjelang pemilu 2004, 2009 maupun 2014, terdapat kenaikan konsumsi rumah tangga maupun konsumsi pemerintah. Menurut Bareksa, Pilkada juga akan memberi pengaruh pada konsumsi karena perputaran uang yang lebih tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun perlu diingat, kejadian masa lampau tidak selalu terulang di masa depan. (hm)