Bareksa.com - Bank Indonesia (BI) terus memantau transaksi uang elektronik yang beredar di dalam negeri. Adapun batas transaksi yang mendapat pantauan khusus dari BI adalah floating fund (dana mengendap) uang elektronik yang sudah melebihi Rp 1 miliar.
Direktur Kebijakan dan Pengawasan Sistem Pembayaran BI Pungky Wibowo mengungkapkan setidaknya ada sepuluh perusahaan yang melakukan kegiatan uang elektronik dan memiliki floating fund di atas Rp 10 miliar, namun belum memiliki izin dari BI.
"Saya tidak bisa menyebutkan jumlah, namun ya sekitar itu (sepuluh)," ujar dia di Jakarta akhir pekan lalu.
Perusahaan-perusahaan yang umumnya bergerak di bidang e-commerce ini diharuskan meminta izin uang elektronik ke BI. Dalam mau pengajuan izin tersebut, kegiatan usaha uang elektroniknya dihentikan.
"Mereka memang sudah lama melakukan kegiatan uang elektronik, namun memang belum kami hentikan. Kami pantau terus sampai transaksinya di atas Rp 1 miliar, baru kami minta izin," kata dia. (Baca : BI Tetapkan Biaya Top Up e-Money Rp 1.500, YLKI Minta Konsumen Diberi Insentif)
Proses Pengajuan Izin
Pengajuan izin uang elektronik ini, menurut Pungky bertujuan untuk melindungi konsumen. Sebab dalam kegiatan uang elektronik ada proses isi ulang (top up) dengan menggunakan alat pembayaran seperti kartu ATM, debit atau kredit yang apabila tidak berada di bawah pengawasan BI bisa berisiko terhadap perlindungan konsumen.
Proses pengajuan izin ini, lanjut Pungky membutuhkan sekurangnya 45 hari kerja. Setidaknya ada 14 poin yang harus dipenuhi oleh calon penerbit sebelum izin uang elektroniknya keluar.
Ke depan, apabila transaksi uang elektronik yang dilakukan e-commerce ini semakin banyak, BI akan menambah peraturan dalam PBI uang elektronik yang sudah ada sekarang. Sebelumnya, BI sudah menambah peraturan dalam PBI uang elektronik sebanyak tiga kali, yaitu pada 2009, 2014 dan 2016.
"Tuntutan industri uang elekteonik memang makin tinggi, sehingga kami harus menata sistem pembayaran supaya semakin bagus," ujarnya. (Lihat : BI Tetapkan Biaya Top Up e-Money Rp 1.500, Ini Dampak ke BMRI, BBRI, BBNI, BBCA)
Perlindungan Konsumen
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara sebelumnya menjelaskan, sebagai regulator, pihaknya berusaha untuk membuat aturan yang tidak hanya mendukung aspirasi industri, namun juga melindungi konsumen. Karena itu, atas dasar seperti itu, pihaknya akan menghentikan terlebih dahulu aktivitas bisnis e-money dari perusahaan yang belum mendapatkan izin. (Lihat : BI Tetapkan Biaya Isi Ulang Uang Elektronik Maksimal Rp 1.500 per Transaksi)
“Yang menjalankan bisnis e-money harus minta izin, kalau memang sedang progress mendapatkan izin, kegiatan usahanya disetop dulu. Nanti kalau sudah dapat izin, baru jalan lagi,” ujar dia.
Kepala Pusat Program Transformasi BI Onny Wijanarko menjelaskan sebelum memberikan izin atau menghentikan kegiatan usaha sebuah perusahaan yang bergerak di sistem pembayaran, pihaknya akan melakukan penelitian terlebih dahulu. ”Apakah usaha ini berguna atau tidak, risikonya tinggi atau tidak, kami harus meneliti dulu,” kata dia. (Baca : Isi Ulang e-Money di Bawah Rp 200 Ribu Bisa Gratis, BBCA Tak Ambil Pusing)
Terkait bisnis e-money yang dilakukan oleh perusahaan e-commerce, Onny menilai memang transaksinya cukup besar. Melihat nilai transaksi tersebut, pihaknya juga akan mengatur e-money yang khusus dilakukan oleh perusahaan e-commerce. (K09)