Bareksa.com - Industri perbankan secara umum masih merasakan banyaknya dana yang dapat disalurkan untuk pembiayaan. Hal ini terjadi karena pertumbuhan kredit yang belum ekspansif dan pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) yang tinggi.
Hasil riset PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) menunjukkan, likuiditas bank masih melonggar, yang terlihat dari rasio kredit terhadap simpanan (loan to deposit ratio/LDR). Semakin rendah rasio LDR menunjukkan likuiditas yang masih longgar.
Chief Economist Bank Mandiri Anton Gunawan menjelaskan, pada Juli 2017, LDR perbankan berada di bawah 90 persen atau 88,8 persen. Begitu juga dengan indikator likuiditas lainnya, yaitu (loan to funding ratio/LFR) yang berada di angka 87,1 persen.
"Di saat yang sama, pertumbuhan kredit tercatat 8,1 persen. Nilai tersebut lebih rendah dibandingkan pertumbuhan DPK yang berada di angka 10,5 persen," ujarnya di Jakarta belum lama ini.
Banyaknya likuiditas tersebut menyebabkan bank banyak menempatkan dananya di instrumen open market operation (OMO). Tercatat, outstanding dana bank di OMO mencapai Rp486 triliun. Dana tersebut paling banyak ditempatkan di instrumen SBI 9 bulan dan reverse repo.
Anton mengungkapkan, tidak hanya bank yang banyak menempatkan dana di BI, tetapi juga pemerintah dan Bank Pembangunan Daerah. Adapun penempatan dana pemerintah di BI mencapai Rp343,3 triliun dan dana BPD di BI sebesar Rp75,4 triliun.
Potensi Mengetat
Lebih lanjut, untuk meningkatkan pertumbuhan kredit bank, BI juga berencana mengeluarkan kebijakan makro prudensial seperti perubahan aturan LFR ke Financing to Funding Ratio (FFR). Melalui aturan ini, BI ingin merelaksasi komponen financing dari FFR dengan memasukkan obligasi korporasi.
Melalui simulasi yang dilakukan oleh tim ekonom Bank Mandiri, dengan adanya perubahan LFR ke FFR, FFR empat bank BUKU IV berpotensi meningkat. Semula LFR Bank Mandiri mencapai 93,32 persen, setelah berubah menjadi FFR naik ke 96 persen. Sementara BCA, FFR-nya menjadi 78 persen, BNI 96 persen, BRI 85 persen dan Bank CIMB Niaga 103 persen.
Wakil Direktur Utama PT. Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) Herry Sidharta mengungkapkan, LDR BNI masih di kisaran normal yakni 90 persen. Sedangkan kelebihan (excess) likuiditas perseroan banyak ditempatkan di SUN, obligasi dan pasar uang.
Direktur PT. Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk(BBTN) Iman Nugroho Soeko mengungkapkan, likuiditas bisa saja berpotensi mengetat dengan adanya perubahan menjadi FFR. Namun demikian di BTN, dia tetap mengklaim likuiditas perseroan aman. Adapun posisi LDR dan LFR pada Agustus 2017 adalah 110,5 persen dan 104,6 persen.
“Likuiditas kami terjaga karena sebagian dana kami berasal dari komponen pendanaan yang belum diakui dalam regulasi, yakni pinjaman bilateral (term loan) dari bank dan non bank,”ucap dia.
Indikator yang digunakan BTN untuk menunjukkan likuiditas aman adalah liquidity coverage ratio (LCR) yang mencapai 149,1 persen, jauh di atas batas minimal 100 persen. Selain itu, secondary reserve perseroan juga berada di atas target minimal.
“Kelebihan likuiditas kami biasanya tempatkan di surat berharga negara (SBN), SBI dan interbank,” paparnya.
Lebih lanjut, Presiden Direktur PT. Bank Mayapada International Tbk (MAYA) Hariyono Tjahjarijadi mengungkapkan, likuiditas perseroan masih dalam keadaan normal dengan LDR di kisaran 82-85 persen. Umumnya kelebihan likuiditas banyak ditempatkan di SBN.
Mengenai perubahan regulasi menjadi FFR, menurut Hariyono bisa saja menimbulkan likuiditas menjadi ketat. ”Kemungkinan ada (potensi likudiitas ketat) karena yang tadinya LFR rendah menjadi tinggi,” ungkapnya.
Presiden Direktur PT. Bank OCBC NISP Tbk (NISP) Parwati Surjaudaja mengungkapkan, LDR perseroan berada di bawah 90 persen saat ini. "Adanya perubahan LFR menjadi FFR tidak akan berpengaruh banyak terhadap likuiditas kami," ucapnya. (K09)