Bareksa.com – Kondisi keuangan PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) belakangan ini menjadi perbincangan masyarakat, setelah tersebarnya salinan surat Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini M. Soemarno.
Salah satu hal yang disorot Menkeu dalam hal itu adalah kinerja keuangan PLN yang terus mengalami penurunan. Hal ini seiring dengan semakin besarnya kewajiban korporasi untuk memenuhi pembayaran pokok dan bunga pinjaman yang tidak didukung oleh pertumbuhan kas bersih operasi. Artinya, utang yang membesar membebani keuangan tanpa kenaikan berarti dari pendapatan.
Menariknya, rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity/DER) perseroan terpantau rendah sejak dua tahun terakhir ini. Semakin rendah DER menandakan kemampuan perseroan untuk menutup utang dengan ekuitasnya semakin baik.
Seperti terlihat di dalam grafik, DER PLN pada kuartal kedua 2016 menurun tajam menjadi hanya 0,45 kali bila dibandingkan dengan 3,75 kali pada periode sama tahun sebelumnya. Pada kuartal kedua tahun ini pun, DER PLN masih terjaga di 0,48 kali.
Grafik : Perbandingan Rasio DER PLN (kali)
Sumber : Laporan Keuangan, diolah Bareksa
Namun, rasio utang yang dianggap lebih baik ini terjadi bukan karena pengurangan utang, melainkan karena ada penambahan ekuitas sebesar Rp621 triliun yang berasal dari revaluasi aset. Revaluasi aset akan meningkatkan nilai aset perusahaan sehingga perusahaan akan memiliki struktur permodalan yang lebih baik dengan kemampuan leverage yang lebih tinggi. Pada tahun-tahun berikutnya, kemampuan perusahaan dalam menghasilkan laba diharapkan meningkat.
Revaluasi aset yang dilakukan perusahaan pada Oktober 2015 diakui sebagai pendapatan komprehensif perseroan sehingga berdampak pada peningkatan ekuitas secara signifikan. Selain itu, adanya revaluasi aset menyebabkan rasio utang terhadap ekuitas perseroan otomatis menurun.
Seperti diberitakan sebelumnya, revaluasi aset sempat ramai dilakukan sejumlah Badan Usaha Milik Negara pada akhir 2015 dalam rangka menikmati paket kebijakan pemerintah yang mengurangi pajak. Pada saat yang sama, revaluasi aset ini juga memperlebar ruang untuk meraih pinjaman. Paket kebijakan ekonomi tahap V yang dirilis pemerintah pada 2015 silam memberikan keringanan pajak atas revaluasi aset perusahaan. Pemerintah akan memberi tarif khusus revaluasi dari semula 10 persen menjadi 3 – 6 persen.
Grafik : Pertumbuhan Utang dan Ekuitas PLN (Rp Triliun)
Sumber : Laporan Keuangan, diolah Bareksa
Meski rasio DER terbilang rendah, peningkatan ekuitas hanyalah pengakuan perubahan nilai aset dan bukan disebabkan oleh adanya dana segar yang bertambah baik dari pelanggan maupun suntikan PMN tambahan dari pemerintah. Artinya, nilai utang tetap besar dan bunganya pun tetap membebani.
Memang sebelumnya revaluasi aset semacam ini bisa mengatasi kerugian PLN. Pada tahun 2000, PLN mengalami kerugian Rp24,6 triliun hingga akhirnya memutuskan revaluasi pada 2002. Setelah revaluasi, kinerja bottom line PLN semakin baik hingga bisa membukukan untung Rp11,74 triliun pada 2014.
Oleh karena itu, untuk menyeimbangkan kesehatan keuangannya, PLN ke depannya diharapkan mampu melakukan efisiensi dalam biaya operasi. Hal ini perlu dilakukan untuk mengantisipasi potensi risiko gagal bayar. Selain itu, seperti dikatakan oleh Menkeu dalam suratnya, perlu juga adanya regulasi dari instansi terkait yang dapat mendorong penurunan biaya produksi tenaga listrik, seiring dengan ketiadaan penyesuaian tarif tenaga listrik. (hm)