Freeport Berstatus IUPK, Ini Perbedaan Skema Pajak Nail Down dan Prevailing

Bareksa • 31 Aug 2017

an image
CEO Freeport-McMoran Copper & Gold Inc Richard Adkerson (kiri) bersama Menteri ESDM Ignasius Jonan (kanan) bersama Menteri Keuangan Sri Mulyani (tengah) menyampaikan keterangan kepada wartawan terkait divestasi saham di Kementerian ESDM, Jakarta, Selasa (29/8). (ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari)

Perubahan status dari KK ke IUPK, membuat Freeport harus menggunakan sistem perpajakan prevailing

Bareksa.com - Pemerintah masih menggodok formula pajak untuk PT Freeport Indonesia seiring perubahan status operasi perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu dari kontrak karya (KK) jadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK).

Formula yang digodok meliputi sistem perpajakan tetap (nail down) hingga kontrak operasi habis dan sistem perpajakan tidak tetap (prevailing) yang memungkinkan besaran pajak yang dibayar Freeport bisa berubah-ubah di tengah jalan.

Sistem Pajak Nail Down

Sejak awal, Freeport  menginginkan sistem perpajakan nail down seperti ketentuan di dalam KK. Sistem pajak ini dinilai lebih menguntungkan lantaran Freeport bisa membuat proyeksi bisnis jangka panjang tanpa pusing menghitung besaran pajak. Dengan kata lain, semakin besar pendapatan Freeport, maka pajak yang harus dibayar tidak ikut naik atau tidak progresif dikarenakan telah ditetapkan sesuai perjanjian.

Melalui sistem perpajakan nail down, besaran pajak Freeport sudah ditetapkan di awal kontrak dengan pemerintah. Besaran pajak itu berlaku tetap hingga kontrak operasi perusahaan asal AS itu berakhir. Sistem pajak nail down jelas lebih disukai perusahaan besar dengan investasi besar seperti Freeport karena memberikan kepastian untuk dunia usahanya.

Sistem Pajak Prevailing

Direktorat Jenderal Pajak sempat mengungkapkan, perubahan status KK ke IUPK dengan sistem perpajakan prevailing bukan berarti selalu merugikan perusahaan. Ditjen Pajak mengungkapkan, Freeport bisa membayar pajak lebih rendah bila mengunakan prevailing. Sebab ada kecenderungan pajak perusahaan tambang mengalami penurunan akibat sektor yang sedang lesu.

Namun, sistem perpajakan prevailing juga memungkinkan Freeport membayar pajak lebih tinggi ke negara bila kondisi sektor pertambangan menggeliat. Artinya pemerintah bisa dapat pemasukan lebih besar.

Nail Down Vs Prevailing

Melansir Kompas, menanggapi dua skema pajak untuk Freeport itu, Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo memberikan penilaian tersendiri. Dia menilai, sistem perpajakan nail down justru akan lebih menguntungkan negara ketimbang prevailing.

"Dengan tarif (pajak) ke depan akan turun, maka nail down akan menguntungkan pemerintah," ujarnya.

Meski begitu, pengunaan sistem perpajakan nail down juga bisa membuat potensi pajak yang lebih besar melayang jika sektor pertambangan kembali rebound di kemudian hari. Yustinus menyarankan agar pemerintah mengambil jalan tengah dengan menyisipkan poin negosiasi pajak di dalam klausul Izin Usaha Pertambangan Khusus milik Freeport.

Dengan adanya poin negosiasi, pemerintah bisa kembali duduk bersama Freeport membicarakan besaran pajak perusahaan tambang itu sesuai kondisi sektor pertambangan. Saat ini, Menteri Keuangan Sri Mulyani masih menggodok formula pajak yang tepat untuk Freeport.

Ia memastikan, pemerintah menginginkan setoran yang lebih besar dari Freeport setelah menanggalkan status KK. Nantinya, formula pajak untuk Freeport akan tercantum langsung di dalam dokumen IUPK dan Peraturan Pemerintah (PP) terkait dengan IUPK yang akan di keluarkan dalam waktu dekat.

Penerimaan Negara dari Freeport Ditingkatkan

Untuk diketahui, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati sebelumnya menegaskan bahwa penerimaan negara akan mengalami peningkatan dengan cara menaikkan komposisi dalam bentuk perpajakan yang dikenakan ke PT Freeport Indonesia, unit usaha perusahaan tambang asal Amerika Serikat, Freeport-McMoRan Inc. Adapun langkah yang diambil itu sesuai dengan Undang-Undang (UU) Minerba ketika status berubah menjadi IUPK.

Ani, biasa ia disapa, menambahkan, Pemerintah Indonesia telah melakukan perhitungan secara data histrois Freeport Indonesia dan penerimaan negara dari komposisi perpajakan yakni pajak, bea cukai, pajak daerah, dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dalam bentuk royalti. Landasan itu menjadi dasar dari pemerintah untuk menaikkan penerimaan ke Freeport.

"Kita usulkan penerimaan negara lebih besar dari yang diperoleh ketika masih menjadi Kontrak Karya (KK) yaitu berdasarkan UU Minerba. Pada prinsipnya secara agregat penerimaan negara dari KK sudah disepakati antara pemerintah dengan Freeport. Freeport mengajukan beberapa hal sebagai jaminan dan ada komposisinya yang juga kami akan hitung," ujar Sri Mulyani, dalam konferensi pers pengumuman hasil kesepakatan negosiasi antara pemerintah Indonesia dan Freeport, di Jakarta, Selasa, 29 Agustus 2017.

Menurut Sri Mulyani, Freeport Indonesia harus benar-benar menjalankan segala aturan yang sudah diberlakukan Indonesia. Apabila kesemuanya sudah dijalankan dengan baik maka operasi bisa terus berjalan dan di sisi lain penerimaan negara bisa mengalami kenaikan dari aspek Freeport.

"Total penerimaan negara dari Freeport Indonesia bisa lebih besar dari selama ini ketika diperoleh mengunakan basis KK dan ini sesuai UU Minerba," ungkap mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini.

Setelah melalui serangkaian perundingan dan negosiasi yang alot, pemerintah dan Freeport telah mencapai kesepakatan final.

Pertama, landasan hukum yang mengatur hubungan antara pemerintah dan PT Freeport Indonesia akan berupa Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK), bukan berupa Kontrak Karya (KK).

Kedua, divestasi saham PT Freeport Indonesia sebesar 51 persen untuk kepemilikan nasional Indonesia. Hal-hal teknis terkait tahapan divestasi dan waktu pelaksanaan akan dibahas oleh tim dari pemerintah dan PT Freeport Indonesia.

Ketiga, PT Freeport Indonesia membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian atau smelter selama lima tahun, atau selambat-lambatnya sudah harus selesai pada Oktober 2022, kecuali terdapat kondisi force majeur.

Keempat, stabilitas penerimaan negara. Penerimaan negara secara agregat lebih besar dibandingkan dengan penerimaan melalui Kontrak Karya selama ini, yang didukung dengan jaminan fiskal dan hukum yang terdokumentasi untuk PT Freeport Indonesia. 

Setelah PT Freeport Indonesia menyepakati empat poin di atas, sebagaimana diatur dalam IUPK maka PT Freeport Indonesia akan mendapatkan perpanjangan masa operasi maksimal 2x10 tahun hingga 2041.