Bareksa.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis implementasi pemindahan data center (pusat data) bank yang berada di luar negeri bisa sesuai jadwal, yakni pada Oktober 2017. Kendati belum selesai sepenuhnya, OJK akan mencari solusi bersama untuk memenuhi Peraturan Pemerintah No.82 tahun 2012 tentang Penyelenggara Sistem dan Transaksi Elektronik.
Direktur Grup Pengawas Spesialis Departemen Pengawas Bank 3 OJK, Dewi Astuti, menjelaskan bank yang memiliki data center di luar negeri umumnya adalah bank asing. Sehingga peraturan tersebut diwajibkan oleh bank asing ataupun bank yang dimiliki asing yang memiliki data center di luar negeri. "Kalau bank lokal kan tidak, rata-rata data centernya sudah ada di dalam negeri," ujarnya di Jakarta, Senin, 23 Juli 2017.
Dewi tidak menjelaskan secara detail jumlah bank asing yang harus memindahkan data center ke Indonesia. Namun dia menegaskan, sebagian besar bank asing sudah memproses pemindahan data center tersebut. "Bank sedang dalam proses memenuhi peraturan, beberapa di antaranya sudah mengajukan action plan," terang dia.
Dari segi kesiapan pemindahan data center, menurut Dewi, bank memiliki kemampuan dan keinginan untuk memindahkannya. Namun memang terdapat sedikit masalah lantaran bank asing yang sudah ada di Indonesia sejak 1960 tidak dipermasalahkan memiliki data center di luar negeri.
"Memang akan menjadi masalah karena selama ini mereka sudah nyaman karena data center tidak diatur, namun kami berpatok pada PP 82 yang tujuannya untuk mewujudkan kedaulatan data," terang dia.
Sampai sejauh ini, pemenuhan aturan tersebut masih sesuai jadwal, yakni Oktober 2017. Kalaupun ada perpanjangan waktu, OJK akan mengeluarkan peraturan turunan.
Mengenai pengenaan sanksi, peraturan pemerintah tersebut belum mengatur sanksi yang tegas. Sanksi yang ada saat ini hanya berupa teguran tertulis, pembinaan, pengaturan tingkat kesehatan dan tahapan lainnya.
Menurut Direktur Teknologi dan Operasional Bank DBS Indonesia Alex Woo, Bank DBS Indonesia berkomitmen untuk selalu mematuhi regulasi perbankan Indonesia. "Saat ini kami sedang melakukan diskusi intensif dengan regulator terkait rencana onshoring,"kata dia.
Digital Banking
Kedaulatan data menurut Dewi menjadi isu krusial yang patut menjadi perhatian. Sebab apabila data tersebut disalahgunakan maka akan terjadi penyalahgunaan atau fraud yang akhirnya merugikan nasabah. Selain itu, maraknya penggunaan teknologi juga bisa menjadi penyebab rawan terjadinya fraud. Namun ibarat dua sisi mata uang, penggunaan teknologi bisa juga berdampak positif terhadap perbankan.
Menurut Senior Executive Vice President Digital Banking and Financial Inclusion Bank Mandiri, Rahmat Broto Triaji, pada saat ini, nasabah sudah sedikit yang bertransaksi melalui cabang. Sekitar 95 persen transaksi di bank sudah dilakukan melalui digital banking, baik melalui ATM, mobile ataupun internet banking.
"Transaksi melalui digital banking memang meningkat pesat, tapi transaksi melalui cabang yang walaupun cuma 5 persen tetap akan ada karena generasi sebelum milenial masih ada yang menggunakannya," ungkap dia.
Bagi bank, kehadiran digital banking bisa memberikan tiga manfaat. Pertama adalah dari sisi pendanaan, bank bisa mendapat lebih banyak dana murah berupa giro dan tabungan karena proses transaksi lebih mudah.
"Dari pendapatan bank juga bisa meningkat karena bank mendapatkan pendapatan berbasis biaya (fee based income) dari layanan digital banking yang diberikan," papar dia.
Bank juga bisa menekan biaya operasional dibandingkan memperbanyak transaksi melalui cabang. Rahmat membandingkan investasi untuk mendirikan cabang bisa mencapai Rp 1 miliar, namun apabila bank memperbanyak ATM, investasinya hanya sekitar Rp 50-90 juta. (K09)