Tiga Faktor ini Kemungkinan Sebabkan 7-Eleven Tutup

Bareksa • 03 Jul 2017

an image
Salah satu gerai 7-Eleven - (Company)

Modern Internasional selaku pemegang lisensi 7-Eleven tidak mampu menopang kenaikan beban operasional

Bareksa.com - Penutupan operasional gerai 7-Eleven cukup banyak menarik perhatian masyarakat mengingat convenience store ini masih diminati terutama oleh generasi muda. Tempat yang cukup nyaman dilengkapi dengan fasilitas wi-fi menjadi daya tarik gerai 7-Eleven. Sayangnya perkembangan bisnis ritel ini tidak memperoleh topangan bisnis yang kuat dari grup pemegang lisensi 7-Eleven di Indonesia, PT Modern Internasional Tbk (MDRN).

Chandra Wijaya, Direktur PT Modern Internasional Tbk (MDRN) mengumumkan penghentian operasional seluruh gerai 7-Eleven per 30 Juni 2017. Chandra menjelaskan pembatalan akuisisi bisnis restoran dan convenience store oleh PT Charoen Popkhand Restu Indonesia menjadi pemicu kejadian ini. Sebab manajemen sudah tidak mampu lagi menopang kegiatan operasional gerai 7-Eleven seperti dijelaskan dalam keterbukaan informasi yang disampaikan perusahaan kepada Bursa Efek Indonesia 22 Juni 2017 lalu.

Modern Internasional memperoleh lisensi untuk mengoperasikan gerai 7-Eleven di Pulau Jawa, Indonesia, per Oktober 2008 dengan jangka waktu 20 tahun dan masa perpanjangan 10 tahun. Artinya Modern Internasional masih dapat mengoperasikan gerai 7-Eleven sampai Oktober 2028 sebelum masa perpanjangan.

Sayangnya pelemahan kinerja keuangan Modern Internasional menjadi penghalang perkembangan gerai 7-Eleven. Menelaah laporan keuangan Modern Internasional, terlihat bahwa kerugian mulai diderita sejak 2016. Apa saja yang membebani Modern Internasional? Berikut hasil analisis Bareksa;

1. Naiknya beban penjualan

Beban penjualan pada Tahun 2016 meningkat 46 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya menjadi Rp 626 miliar. Padahal gaji, upah dan kesejahteraan karyawan menyusut 13 persen di periode yang sama menjadi Rp 122,4 miliar. Kenaikan berlipat justru terjadi di pos beban kantor, sewa, pemeliharaan dan perbaikan, pengepakan dan pengiriman serta beban listrik, air dan telepon.

2. Beratnya beban bunga yang ditanggung perusahaan

Sepanjang 2016, Modern Internasional harus menanggung beban bunga Rp 116 miliar. Nilai itu mencapai 13 persen dari angka penjualan yang diterima Tahun 2016. Sementara Tahun 2015, beban bunga yang ditanggung mencapai Rp 136,7 miliar. Namun beruntung pada 2015, Modern Internasional menerima pembayaran kompensasi ganti rugi senilai AS$ 17 juta (setara dengan Rp 229,8 miliar) dari PT FujiFilm Indonesia sebagai pengalihan bisnis fotografi, sehingga kala itu Modern Internasional masih mampu bertahan.

Sepanjang Januari - Maret 2017 ini, beban bunga Modern Internasional pun masih tinggi yakni Rp 24,9 miliar. Hal ini terjadi karena utang berbunga Modern Internasional tidak mengalami penurunan yakni sekitar Rp 960 miliar per akhir Maret 2017.

3. Piutang lain-lain yang belum terbayar

Modern Internasional memiliki piutang dari Honoris Industry senilai Rp 36,36 miliar dan dari Hasta Prima Industry senilai Rp 12 miliar sejak 2010. Sebelumnya Honoris Industry adalah anak usaha Modern Internasional yang telah dijual pada 2009. Sementara komisaris independen dan kepala komite audit Modern Internasional yakni Anthony Chandra, pernah menjabat sebagai komisaris di Hasta Prima Industry pada 2004.

Faktor-faktor inilah yang kemungkinan besar menjadi penyebab Modern Internasional harus menutup beberapa aset 7-Eleven sejak 2016. Dalam laporan keuangan 2016, tercatat Modern Internasional melakukan impairment (penurunan nilai) terhadap aset dan persediaan akibat penutupan gerai 7-Eleven sekitar Rp 345 miliar. Aktivitas ini terus berlanjut hingga kuartal pertama 2017 yang tercatat memiliki beban operasi lainnya senilai Rp 386,17 miliar.

Tags:
mdrn