Bareksa.com – Mudik di Indonesia bukanlah sekedar fenomena sosial-budaya semata, melainkan telah menjadi kegiatan spiritual yang sakral. Bagi masyarakat migran, mudik adalah kegiatan “wajib” yang pantas ditebus dengan biaya berapapun.
Mengutip Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), masuknya migran secara ekstensif mendorong pertumbuhan kota dan menciptakan wilayah aglomerasi. Disparitas pendapatan antara wilayah aglomerasi dan pedesaan menjadi faktor penarik utama migrasi, di mana disparitas pendapatan ini mendorong pertumbuhan populasi wilayah aglomerasi sepanjang 2005-2014 mencapai 2,15 persen (CAGR), jauh di atas pertumbuhan populasi pedesaan yang hanya 1,31 persen.
Dari riset IDEAS tentang pola migrasi dan pertumbuhan 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia, diproyeksikan tahun ini ada potensi 33 juta pemudik yang tersebar di 20 wilayah aglomerasi di seluruh Indonesia.
Secara geografis, mudik adalah fenomena Jawa. Potensi daerah asal pemudik terbesar adalah Jawa, sekitar 68 persen dari total pemudik. Dan potensi daerah tujuan pemudik terbesar juga adalah Jawa, sekitar 65 persen dari total pemudik. Dengan kata lain, sebagian besar pemudik berasal dari Jawa dan menuju Jawa.
Yusuf Wibisono selaku Direktur IDEAS memproyeksikan total pengeluaran yang dikeluarkan 33 juta pemudik selama arus mudik dan arus balik 2017 ini sebesar Rp 142,2 triliun. Pengeluaran rata-rata setiap pemudik sebesar Rp 4,3 juta ini diproyeksikan digunakan pemudik untuk membiayai akomodasi, transportasi, makanan-minuman dan jasa hiburan-rekreasi selama 11 hari perjalanan pulang-pergi mudik.
Dengan memperhitungkan adanya kebijakan THR (tunjangan hari raya) dan tingkat upah minimum provinsi, IDEAS memproyeksikan 15,3 juta pemudik yang diestimasi berstatus pekerja akan membawa remitansi ke kampung halaman mereka sebesar Rp 63,6 triliun pada musim mudik 2017 ini.
Dengan demikian, IDEAS memproyeksikan total perputaran uang terkait mudik selama 2017 ini sebesar Rp 205,8 triliun. Untuk sebuah perhelatan temporer dengan durasi sekitar 2 pekan saja, angka ini tentu sangat signifikan, setara dengan 1,5 persen dari PDB atau 9,9 persen dari APBN 2017.
Sisi Lain Mudik
IDEAS dalam risetnya mengatakan perkembangan pesat kota dan wilayah aglomerasi telah menarik puluhan juta migran, terutama tenaga kerja terdidik dan terlatih, meninggalkan daerah miskin sehingga menjadi semakin tertinggal (brain drain). Tenaga kerja terdidik memiliki eksternalitas positif yang tinggi bagi masyarakat, seperti penyediaan barang dan jasa publik yang bermutu, transfer teknologi, dan kebijakan publik yang tepat, dan semua hal ini hilang ketika mereka bermigrasi.
Derap pembangunan di daerah maju tidak menyebarkan manfaat (spread effect), tetapi justru menghisap sumber daya daerah miskin sehingga pendapatan semakin terkonsentrasi di daerah-daerah kaya (backwash effect). Hal ini membuat daerah tertinggal tak pernah mampu mengejar ketertinggalannya.
Mudik dinilai sebagai wajah kegagalan untuk menciptakan pembangunan yang berkeadilan, antara Jawa dan luar Jawa, antara kota dan desa, antara sektor modern dan sektor tradisional. Mudik adalah wajah kegagalan Indonesia mewujudkan pemerataan dan keadilan sosial.