Bareksa.com - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat saat ini terdapat 48 konglomerasi keuangan (KK) dengan total aset sebesar Rp 5.915 triliun atau setara 67,52 persen dari total aset seluruh perusahaan jasa keuangan. Dari 48 KK tersebut, rata-rata induk usaha berbentuk bank ataupun nonbank.
Kriteria mengenai konglomerasi tersebut akan tercantum dalam aturan mengenai Perusahaan Induk Konglomerasi Keuangan (PIKK), yang rencananya terbit sebelum akhir 2017. Dengan adanya aturan ini, perusahaan konglomerasi keuangan diwajibkan memiliki perusahaan induk (holding company).
Deputi Komisioner Pengawasan Terintegrasi OJK, Agus Edy Siregar, menjelaskan dengan adanya peraturan ini, peraturan mengenai entitas utama yang semula menjadi pijakan pengawasan terintegrasi tidak lagi digunakan. "Jadi, entitas utama nantinya mengalihkan perannya ke induk konglomerasi keuangan," katanya di Jakarta, Senin, 12 Juni 2017.
Terbentuknya peraturan mengenai PIKK juga didasari adanya kekurangan dari entitas utama. Agus mengungkapkan, ruang lingkup entitas utama lebih terbatas karena tidak bisa mengakses perusahaan jasa keuangan yang merupakan sister company.
"Jadi, entitas utama tidak bisa signifikan mewadahi perusahaan konglomerasi, karena ada kelemahannya. Kalau perusahaan konglomerasi keuangan berbentuk vertikal tidak apa-apa, tapi kalau berbentuk horizontal maka akan kesulitan untuk mengakses," paparnya
Mengenai peralihan dari entitas utama ke PIKK, OJK memberikan waktu hingga 1 Januari 2018. Pasalnya, beberapa konglomerasi keuangan memiliki struktur yang tidak sederhana.
"Sebelum peralihan tersebut, beberapa konglomerasi yang berbentuk perusahaan terbuka diwajibkan membentuk RUPS pada 2018," ungkapnya.
Sementara itu, dalam peraturan terbaru ini, Kepala Grup Penelitian, Pengaturan dan Pengembangan Pengawasan Terintegrasi OJK, Aditya Jayaantara, menambahkan peraturan mengenai PIKK ini mengacu pada praktik yang ada di beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Korea, dan Singapura yang telah menerapkan financial holding company.
"Pengaturan mengenai PIKK ini juga sejalan dengan prinsip joint forum dan praktik hukum yang berlaku di internasional," terangnya.
Agus menjelaskan, dengan adanya peraturan ini, Pemegang Saham Pengendali (PSP) wajib membentuk PIKK.
"Diharapkan dengan adanya PIKK sebagai perusahaan induk, dapat mempermudah PSP atau Pemegang Saham Pengendali Terakhir (PSPT) dalam memantau perkembangan bisnis jasa keuangan yang dimiliki," ungkapnya.
Lebih lanjut, dalam Rancangan Peraturan OJK (RPOJK), suatu grup Lembaga Jasa Keuangan (LJK) dinyatakan sebagai sebuah konglomerasi keuangan apabila terdapat LJK setidaknya dua sektor, yaitu bank, perusahaan asuransi atau reasuransi, perusahaan efek, dan perusahaan pembiayaan. Selanjutnya, total aset dari seluruh konglomerasi keuangan tersebut minimal Rp 2 triliun. (K09)