MARKET BRIEF: HRUM Batal Gandeng MEDC Di Bisnis Listrik

Bareksa • 24 May 2017

an image
Sejumlah pekerja mengganti kabel listrik di Desa Suak Timah, Aceh Barat, Aceh. ANTARA FOTO/Syifa Yulinnas

KRAS genjot produksi hingga 10 juta ton tahun 2025

Bareksa.com - Berikut ini adalah intisari perkembangan penting di pasar modal dan aksi korporasi, yang disarikan dari media dan laporan keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia.

PT Harum Energy Tbk (HRUM)

HRUM  mencoba untuk melakukan diversifikasi usaha di luar bisnis batu bara. Salah satu yang jadi incaran adalah bisnis pembangkit listrik. Direktur Utama HRUM, Ray Antonio Gunara mengatakan perseroan memang ingin diversifikasi usaha dari hulu hingga hilir.

Demi menyeriusi bisnis pembangkit, Ray bahkan bilang perseroan sudah membentuk perusahaan patungan atau joint venture dengan perusahaan-perusahaan internasional yang telah memiliki pengalaman di bidang Engineering, Procurement, and Construction (EPC) yang pernah membangun PLTU. Namun Ray meyakinkan dari mitra joint venture yang digandeng Harum Energy, tidak ada nama PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) seperti yang diwacanakan sebelumnya.

PT Krakatau Steel Tbk (KRAS)

Gencarnya program pemerintah dalam membangun infrastruktur membuat kebutuhan baja terus meningkat. Oleh karena itu, KRAS produsen baja segera akan meningkatkan produksinya pada 2025. Direktur Utama KRAS Mas Wigrantoro Roes Setyadi menyampaikan bahwa akan ada klaster industri baja di Cilegon dengan total kapasitas sebesar 10 juta ton.

Saat ini kapasitas KRAS dengan PT Krakatau Posco mencapai 4,5 juta ton. Di 2019 dengan beroperasinya pabrik Hot Strip Mill (HSM) 2 maka ada tambahan kapasitas sebanyak 1,5 juta ton yang artinya menjadi total sebesar 6 juta ton.

PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI)

Direktur Keuangan BBRI Haru Koesmahargyo mengakui ada kenaikan risiko kredit pada sektor pertambangan dan perdagangan. Bank berpelat merah ini mencatat rasio kredit bermasalah atau non performing loan (NPL) yang tinggi pada kedua sektor tersebut. Misalnya, rasio NPL pada sektor pertambangan sekitar 9,3 persen.

Namun BBRI memperkirakan rasio NPL secara keseluruhan akan terjaga pada level 2,2 persen sampai 2,4 persen di akhir tahun 2017. BRI mencatat rasio NPL gross sebesar 2,16 persen dan NPL net sebesar 1,22 persen di kuartal I-2017.

PT Bank Victoria Internasional Tbk (BVIC)

Perdagangan saham BVIC terkena penghentian sementara (suspensi) oleh Bursa Efek Indonesia (BEI) karena pergerakan harga saham Bank Victoria naik 184 persen selama satu bulan.

Daniel Budirahayu, Direktur Utama Bank Victoria International mengakui, saham BVIC terkena suspensi selama satu minggu oleh BEI karena alasan kenaikan harga saham. Lanjutnya, harga saham melonjak karena fluktuasi pasar bukan ada rencana aksi korporasi.

Kendati demikian, Daniel menuturkan ada investor yang tertarik untuk menambah kepemilikan saham di bank Victoria. Rencananya, Deutsche Investitions und Entwicklungsgesellschaft mbH (DEG) tertarik untuk meningkatkan saham di bank milik Victoria Investama. Niatan investor asal Jerman untuk menambah saham secara minoritas bukan mayoritas hingga kepemilikan saham 40 persen.

PT Bank Tabungan Negara Tbk (BBTN)

BBTN menandatangani nota kesepahaman dengan Perum Jamkrindo tentang Optimalisasi Penyelesaian Hak Subrograsi Penjamin atas Perjanjian Kerjasama Penjaminan KPR Sejahtera. Nota kesepahaman tersebut menjadi dasar bagi Bank BTN untuk mempercepat penyelesaian perolehan hak subrograsi. Adapun subrograsi adalah penggantian hak-hak oleh seorang pihak ketiga yang telah membayar kewajiban debitur kepada kreditur.

Dengan menggunakan jasa pihak ketiga dalam pengelolaan aset tersebut, Bank BTN bisa lebih efisien dan perolehan hak subrogasi untuk Jamkrindo dapat diproses dengan baik. “Bagi Jamkrindo dengan optimalnya penyelesaian perolehan hak subrogasi, maka penerimaan pembayaran pengembalian klaim asuransi yang telah Jamkrindo bayarkan kepada debitur KPR Sejahtera meningkat,” kata Direktur Utama Perum Jamkrindo, Diding S. Anwar.

BPJS Kesehatan

BPJS Kesehatan memperkirakan defisit atau mismatch dalam penyelenggaran Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN – KIS) mencapai kisaran Rp3,6 triliun sepanjang 2017.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengatakan mismatch antara pendapatan dengan beban tersebut masih berpotensi terjadi lantaran masih adanya selisih tarif yang ditetapkan dengan tarif yang seharusnya berdasarkan perhitungan aktuaria.