Bareksa.com - Pada awal pekan ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan menerima kunjungan dari CEO Temasek Holding, Ho Ching. Kunjungan badan usaha milik Singapura tersebut membahas salah satunya tentang investasi di Indonesia.
Luhut mengatakan bahwa tamunya tersebut mengungkapkan ketertarikan Singapura untuk berinvestasi di Batam, Bintan, dan wilayah Karimun yang dekat dengan Singapura.
“Saya tawarkan juga kerja sama di Pulau Tolop dan Nipa. Dia melihat Temasek ada peluang ke sana,” ucapnya.
Minat dari negeri tetangga tersebut patut disambut karena memang Singapura sejauh ini menjadi salah satu pemodal asing terbesar di Indonesia. Hal ini terlihat dari data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) per kuartal IV-2016 yang mencatat nilai realisasi investasi Singapura mencapai US$2,1 miliar, atau 27,4 persen dari total investasi asing di Indonesia.
Grafik: Realisasi Investasi di Indonesia 2016 Berdasarkan Negara Asal
Sumber: Badan Koordinasi Penanaman Modal
Adapun investasi Singapura melalui Temasek juga sudah memiliki sejumlah rekam jejak yang panjang di Indonesia, yang terbesar di bidang keuangan dan telekomunikasi. Saat ini, maritim menjadi sorotan karena Indonesia kebetulan memiliki banyak potensi sebagai negara kepulauan yang sebagian besar dikelilingi laut. Namun, sebelum berbicara tentang investasi baru, mari kita lihat bagaimana track record Temasek di Indonesia.
Didirikan sejak 1975, perusahaan holding investasi tersebut sudah menanamkan modalnya di berbagai bidang dan di berbagai lokasi di dunia. Per 2016, nilai portofolio investasi Temasek mencapai S$242 miliar (Rp3.228 triliun) dengan eksposur terbesar atau 40 persennya berada di Asia selain Singapura.
Salah satu kepemilikan terbesar di Indonesia adalah PT Bank Danamon Indonesia Tbk (BDMN). Temasek, termasuk melalui Fullerton Financial Holdings Pte. Ltd, memiliki 67 persen di perusahaan perbankan tersebut. Saat ini, BDMN memiliki kapitalisasi pasar sebesar Rp46 triliun yang tercatat di Bursa Efek Indonesia.
Selain itu, Temasek juga memiliki investasi di sektor telekomunikasi Indonesia, melalui anak usaha dengan kepemilikan 54 persen saham, yakni SingTel. Perusahaan telekomunikasi itu memiliki saham operator seluler terbesar Indonesia, yaitu di PT Telekomunikasi Selular (Telkomsel) sebesar 35 persen. Kepemilikan ini berawal pada 2001 saat SingTel membeli 22,28 persen Telkomsel dari KPN Royal Dutch Telecom Belanda dan menambahnya 12,72 persen pada 2002 dari PT Telekomunikasi Indonesia Tbk atau Telkom (yang kini masih menguasai 65 persen).
Di sektor telekomunikasi juga, Temasek juga pernah terafiliasi dengan Indosat, yang merupakan operator seluler terbesar kedua di Indonesia. Melalui anak usahanya ST Telemedia (STT), Temasek memiliki saham di Indosat sebesar 41,9 persen yang dibeli dari pemerintah Indonesia pada 2002. STT mengalahkan penawaran dari Telekom Malaysia dengan membayar 51 persen lebih mahal daripada harga pasar saat itu.
Akan tetapi, sejak 2008, STT pun menjual kepemilikan di Indosat kepada Qatar Telecoms (QTel) yang sebelumnya berpatungan dengan Temasek untuk mengembangkan telekomunikasi di Indonesia. Penjualan tersebut berkaitan dengan kasus kepemilikan Temasek di dua entitas telekomunikasi Indonesia yang diajukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Dengan penjualan ini, STT untung besar hampir tiga kali lipat dengan meraup US$1,8 miliar sementara waktu membeli dari pemerintah Indonesia, perusahaan Singapura itu hanya mengeluarkan US$630 juta.
Pada tahun 2013, Temasek Holdings, melalui unit usahanya Anderson Investments membeli 26,1 persen saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA) senilai US$300 juta (Rp2,9 triliun). Investasi terhadap operator gerai Hypermart itu dilakukan melalui skema exchangable rights (ER) atau pertukaran hak saham yang diterbitkan oleh anak usaha PT Multipolar Tbk (MLPL), Prime Star Investment Pte Ltd. Kapitalisasi pasar MPPA di Bursa Efek Indonesia saat ini sebesar Rp6,6 triliun.