Pergerakan Ekspor Freeport Dibatasi, Pihak Mana Yang Rugi?

Bareksa • 20 Feb 2017

an image
Sejumlah Haul Truck dioperasikan di area tambang terbuka PT Freeport Indonesia di Timika, Papua, Sabtu (19/9). PT Freeport Indonesia kini mendapat izin ekspor untuk Juli 2015 - Januari 2016 dengan kuota ekspor mencapai 775.000 ton konsentrat tembaga. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Berdasarkan Wilayah, Indonesia Menyumbang 19% Pendapatan ke Freeport Mc-Moran Inc Amerika

Bareksa.com – Negosiasi yang alot masih terjadi antara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang mewakili pemerintahan dan PT Freeport Indonesia. Perusahaan tambang emas yang merupakan anak usaha dari Freeport McMoran Inc. tersebut bahkan mengancam akan mengurangi karyawan bila tidak segera diberikan izin ekspor setelah status kontraknya diubah. Skema pengenaan pajak baru menjadi topik utama yang memberatkan Freeport setelah empat dekade menikmati bisnis tambang di Indonesia.

Sebelumnya, Freeport tidak bisa melanjutkan ekspor karena terhalang dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 6 Tahun 2016 yang merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017. Di dalam peraturan tersebut, izin ekspor bisa diberikan asal izin usaha berbentuk Kontrak Karya (KK) berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Pemerintah akhirnya mengubah status izin usaha Freeport dari KK menjadi IUPK pada pekan lalu yang berlaku hingga izin operasional kadaluwarsa, yaitu tahun 2021.

Namun, dengan memegang IUPK ini, status Freeport berbeda dengan saat memegang Kontrak Karya, yang menjadikannya satu level dengan pemerintah dan bisa menegosiasikan apapun. Sebagai pemegang IUPK, pengelola tambang harus tunduk terhadap peraturan yang berlaku saat ini, termasuk bea keluar tinggi yang beleidnya baru saja diteken oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani pada 9 Februari 2017.

Kalau Freeport enggan membayar pajak, maka izin ekspor pun tidak bisa keluar. Jika perusahaan tidak melakukan ekspor, induk usaha Freeport Indonesia, Freeport-McMoran Inc mengatakan akan mengurangi tenaga kerja, menahan investasi pertambangan bawah tanah, dan mengurangi produksi menjadi 40 persen dari kapasitas total agar sesuai dengan kapasitas yang dimiliki smelter. Bahkan, Freeport pun menjadi ragu-ragu untuk melanjutkan pembangunan smelter jika pemerintah tak segera mengeluarkan izin tersebut.

Sebelumnya, Freeport mendapatkan perpanjangan ekspor konsentrat dengan kuota ekspor sebesar 1,4 juta metrik ton antara 9 Agustus 2016 hingga Januari 2017. Angka ini lebih besar 40 persen dibanding periode Februari hingga Agustus 2016 dengan besaran 1 juta metrik ton.

Sehingga terlihat ada tarik ulur antara pemerintahan Indonesia dan Freeport Mc-Moran Inc karena pihak pemerintah menginginkan adanya itikad baik dari Mc-Moran untuk menambah jumlah smelter di Indonesia serta meningkatkan jumlah kepemilikan saham pihak Indonesia yang saat ini baru berkisar 10 persen. Sedangkan di sisi lain, pihak Freeport Mc-Moran menginginkan kondisi usaha seperti yang tertera dalam kontrak karya yang akan berakhir pada tahun 2021.

Apakah ancaman Freeport tersebut patut membuat pemerintah Indonesia takut dan harus kembali mengubah aturan yang sudah berkali-kali diamandemen? Apakah pemerintah patut takut nilai ekspor Indonesia berkurang dan penerimaan pajak menyusut?

Nyatanya, kabar domestik justru menunjukkan Indonesia sedang berada di atas angin. Terbukti, rilisnya data-data ekonomi makro seperti cadangan devisa di bulan Januari 2017 mencapai US$116,9 miliar diikuti neraca dagang Indonesia yang surplus US$1,4 miliar atau tertinggi sejak Desember 2013. Dua variabel tersebut pada akhirnya akan menopang laju penguatan rupiah di tengah ketidakpastian kondisi perekonomian global.

Sedangkan pihak Freeport McMoran Inc terancam akan kehilangan 19 persen pendapatannya di tahun 2016 apabila negosiasi dengan pihak pemerintah Indonesia tidak menemukan kesepakatan. Pasalnya, selain dilarang melakukan ekspor, kontrak yang akan berakhir di tahun 2021 akan mengakhiri kerjasama antara pemerintahan Indonesia dan perusahaan tambang asal Amerika tersebut.

Hal inipun terlihat dari kekhawatiran pelaku pasar yang memegang saham Freeport McMoran yang tercatat di bursa New York Stock Exchange (NYSE).

Grafik : Pergerakan Saham Freeport McMoran (FCX)

 

Sumber : Bloomberg.com

Dalam 5 tahun terakhir terlihat pergerakan saham Freeport McMoran dengan kode FCX ini cenderung menurun. Hingga penutupan perdagangan 16 Februari 2017, saham FCX diperdagangkan di level $15,07 per lembar saham. Sebelumnya, saham ini sempat diperdagangkan di level $38,8 per lembar pada pertengahan Juli 2014. Penurunan harga saham tersebut merupakan refleksi dari penurunan harga komoditas. Seperti yang kita ketahui, sumber pendapatan Freeport McMoran Inc berasal dari emas, tembaga, dan minyak & gas yang cenderung mengalami masa downtrend akibat adanya perlambatan perekonomian di China, mengingat China merupakan negara terbesar di dunia konsumen sekaligus importir komoditas tersebut.

Grafik : Pertumbuhan Pendapatan Freeport McMoran 2008 – 2016 (US$ Miliar)

 

Sumber : Bloomberg.com

Selain itu, pertumbuhan pendapatan FCX dalam dua tahun terakhir cenderung melemah. Uniknya di tahun 2016, penurunan pendapatan terjadi di tengah meningkatnya beberapa harga komoditas seperti batu bara, emas, dan minyak dunia.

Grafik : Kontribusi Revenue Tahun 2016 Berdasarkan Wilayah

Sumber : Bloomberg.com

Perlu diingat juga, posisi Indonesia sangat penting bagi perusahaan tambang ini. Tambang Grasberg -- yang merupakan tambang emas terbesar di Indonesia -- mampu berkontribusi di peringkat dua terhadap seluruh pendapatan Freeport McMoran. Kontribusinya setara 19 persen atau senilai US$3,3 miliar. Posisi ini menunjukkan seberapa vitalnya peran Indonesia terhadap performa pendapatan Freeport McMoran tersebut.

Rangga Cipta, Ekonom Senior Samuel Sekuritas, menilai ancaman Freeport masih belum berdampak secara jangka pendek. "Secara nominal hingga Desember 2016, ekspor impor masih tinggi sehingga sentimen Freeport ini belum membuat neraca perdagangan Indonesia berpotensi turun. Di satu sisi, harga komoditas yang masih menguat akan membuat ekspor Indonesia relatif stabil," katanya. (hm)