Bareksa.com – Dua saham emiten yang terafiliasi dengan Grup Bakrie merencanakan aksi korporasi yang berkaitan dengan penataan ulang pembayaran utang. Saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Bakrie Sumatera Plantations Tbk (UNSP) yang sama-sama akan melakukan penggabungan saham terpantau turun pada perdagangan saham hari ini 16 Februari 2017.
ENRG akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) untuk meminta izin mengenai rencana perseroan melakukan penggabungan nominal saham atau yang disebut dengan reverse stock.ENRG berencana melakukan RUPSLB pada Senin, 23 Maret 2017.
Perseroan ingin melakukan reverse stock sebagai syarat untuk restrukturisasi kepada kreditur perseroan. Berdasarkan prospektus perusahaan yang dipublikasi 14 Februari 2017, ENRG berencana untuk melakukan reverse stock terhadap seluruh saham yang telah dikeluarkan dengan skala 8:1. Artinya delapan saham dengan nilai nominal Rp100 akan menjadi satu saham dengan nilai Rp800.
Adanya reverse stock ini tidak akan menyebabkan terjadi perubahan jumlah modal. Namun, struktur kepemilikan bisa saja berubah jika ada saham-saham odd lot yang dibeli oleh pembeli siaga. Selain itu, jumlah saham beredar (outstanding share) perseroan akan berkurang seiring dengan aksi korporasi ini.
Selain ENRG, UNSP juga berencana melakukan reverse stock dalam rangka restrukturisasi utang. UNSP ingin menggabungkan nominal sahamnya dengan rasio 10:1. Tapi rencana ini belum bisa dilakukan lantaran RUPSLB belum kuorum.
Rencana emiten tersebut, ternyata direspon negatif oleh investor. Menurut pantauan Bareksa hingga pukul 13.30 WIB hari ini harga saham ENRG anljok 14,7 persen menjadi Rp58, sedangkan harga saham UNSP turun 7,6 persen menjadi Rp61.
Bagaimana harga saham setelah reverse stock?
Jika dilihat secara historis sejumlah saham mengalami penurunan setelah melakukan penggabungan saham. Hal ini mungkin yang dikhawatirkan oleh investor, seperti pernah terjadi pada induk usaha Bakrie Group, PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) setelah melakukan reverse stock.
BNBR melakukan reverse stock pada 6 Maret 2008, dengan skala 2:1 menjadi 13,485 miliar saham seharga Rp680 per saham. Reverse stock ini dilakukan karena rencana BNBR melakukan akuisisi PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Energy Mega Persada Tbk (ENRG) dan PT Bakrieland Development Tbk (ELTY) senilai Rp48,4 triliun.
Harga perdagangan saham BNBR kala itu adalah Rp320 per lembar saham. Dengan reverse stock saham perseroan akan menjadi Rp640 per lembarnya. Namun tidak sampai satu tahun harga saham BNBR anjlok ke level terendah di Rp50.
Harga saham BNBR sempat naik kembali di tahun 2009 karena right issue yang dilakukan perseroan. Namun, sejak tahun 2012 saham BNBR terus menghuni dasar nilai saham di bursa di Rp50 per lembar saham.
Grafik: Pergerakan Saham BNBR Tahun 2008
Sumber: Bareksa.com
Selain BNBR, ada beberapa emiten juga yang melakukan reverse stock dengan hasil yang kurang memuaskan, seperti. PT Smart Telecom Tbk (FREN) dan PT Buana Listya Tama Tbk (BULL). Kedua emiten ini pernah melakukan reverse stock masing-masing pada tanggal 6 Februari 2012 dan 12 Maret 2015. Pada saat itu, FREN menggunakan rasio 20:1 dan BULL menggunakan rasio 8:1.
Dengan rasio 20:1 maka saham FREN yang tadinya Rp50 per lembar menjadi Rp1.000 per per lembar. Namun setelah diperdagangkan dengan harga baru, saham FREN langsung anjlok. Setelah tiga hari diperdagangkan pasca reverse stock, saham FREN langsung berada di angka 108 atau turun hampir 90 persen. Setelah itu saham FREN tidak pernah lebih dari Rp100 bahkan bergerak di level Rp50-Rp90 per lembar saham.
Grafik: Pergerakan Harga Saham FREN Tahun 2012
Sumber: Bareksa.com
Senada dengan saham FREN, harga saham BULL juga menjadi Rp300 per lembarnya setelah melakukan reverse stock. Saham BULL sendiri mulai disuspen oleh bursa semenjak tanggal 27 November 2014 karena keterlambatan penyampaian laporan keuangan perseroan.
Dalam keterbukaan informasi, BEI mencabut suspensi saham BULL untuk sementara hingga 2 Maret 2015 agar saham odd lot bisa dibeli oleh pembeli siaga. Setelah melakukan reverse stock saham BULL saat ini bergerak di kisaran Rp60-Rp150 per lembarnya.
Grafik: Pergerakan harga Saham BULL Tahun 2014-2015
Sumber: Bareksa.com
Meskipun demikian, kinerja fundamental perusahaan melalui laporan keuangan tetap menjadi salah satu yang harus dianalisa selain harga saham per lembarnya. Bila memang kinerja keuangan sebuah emiten buruk, tentunya pergerakan harga sahamnya juga akan cenderung turun. Pasalnya, murah atau mahalnya suatu saham dapat dinilai dari performa emiten tersebut dari tahun ke tahun.
Bila dilihat dari sisi keuangan, Energi Mega memiliki fundamental yang masih buruk. Perusahaan migas ini hingga kuartal III-2016 masih membukukan kerugian Rp609 miliar. Salah satu pendorongnya adalah turunnya penjualan sebesar 18 persen menjadi Rp5 triliun dari periode sama tahun sebelumnya Rp6,8 triliun.
Tidak jauh berbeda dengan ENRG, kinerja UNSP terbilang buruk. Emiten perkebunan ini mencatat penurunan penjualan sebesar 26,9 persen pada sembilan bulan pertama 2016 dibandingkan dengan periode sama tahun 2015. Perseroan pun masih mencatatkan rugi bersih sepanjang periode ini, meski kerugiannya menyusut 77,4 persen dibandingkan periode sama tahun 2015. (hm)