Akan Stock Split 1:4, PPRO Bisa Lebih Mahal Dibanding Induknya

Bareksa • 30 Jan 2017

an image
Direktur Realty PT PP Property Tbk (PPRO) Galih Saksono (kedua kiri) berbincang dengan Direktur PT Adhisatya Property Suka Adhisatya (kedua kanan) seusai penandatanganan kerja sama proyek pembangunan apartemen di Semarang, Jateng. ANTARA FOTO/R. Rekotomo

Taufik Hidayat, Dirut PPRO, mengatakan stock split ini akan mendorong likuiditas perdagangan saham PPRO di pasar modal

Bareksa.com – PT PP Properti Tbk (PPRO) telah mendapat persetujuan pemegang saham untuk melakukan dua aksi korporasi besar, yakni pemecahan nilai saham dan penambahan modal. Dua aksi korporasi tersebut berpotensi membawa saham PPRO semakin ramai diperdagangkan sekaligus membuat harganya lebih mahal dibandingkan dengan induk usahanya, yakni PT PP (persero) Tbk (PTPP).

Berdasarkan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) yang bertempat di Auditorium Wisma Subiyanto Lantai 1, Plaza PP dengan alamat Jl. Letjend TB Simatupang no. 57, Pasar Rebo, Jakarta pada Jumat 27 Januari 2017, dua agenda utama disepakati, yakni meminta persetujuan rencana pemecahan nilai nominal saham (stock split) dan penambahan modal perusahaan dengan memberikan Hak Memesan Efek Terlebih Dahulu (HMETD) atau rights issue.

Selain itu, agenda lainnya adalah meminta persetujuan untuk mengubah Anggaran Dasar Perseroan dan persetujuan Perubahan Pengurus Perseroan, dalam hal ini penambahan 2 orang Komisaris. Calon Komisaris yang diusulkan adalah Lukman Hidayat dan Kelik Wirawan Wahyu Widodo.

Taufik Hidayat, Direktur Utama PP Properti, mengatakan stock split PPRO akan mendorong likuiditas perdagangan saham PPRO di pasar modal. Saat ini saham beredar PPRO mencapai 14,04 miliar lembar saham dengan saham yang kini dimiliki publik mencapai 4,91 miliar lembar saham.

“Kami merencanakan rights issue dengan target dana senilai Rp1,5 triliun yang akan digunakan untuk ekspansi dan penambahan belanja modal,” imbuh Taufik. Dia mengatakan pada tahun ini perseroan menyiapkan belanja modal mencapai Rp1,90 triliun yang akan digunakan untuk melanjutkan rencana ekspansi proyek-proyek existing serta sejumlah proyek baru.

Indaryanto, Direktur Keuangan PP Properti, saat dikonfirmasi Bareksa membenarkan bahwa para pemegang saham menyetujui rencana right issue tersebut dan juga menyetujui rasio stock split sebesar 1:4. Meski begitu, manajemen belum merilis info apapun mengenai tanggal cum date, rasio HMETD, serta harga exercise

Sebagai informasi, harga saham PPRO ini sudah meningkat hampir tujuh kali lipat dalam setahun terakhir dari Rp184 di awal tahun lalu. Hal ini menjadi latar belakang manajemen untuk melakukan pemecahan saham, meski harga PPRO masih di kisaran Rp1200-an.

Selain itu, sebenarnya likuiditas saham emiten properti ini tidak perlu dipertanyakan. Mengacu pada laporan keuangan PTPP dan PPRO di kuartal III 2016, masing-masing mencatatkan jumlah saham beredar sebanyak 4,8 miliar lembar dan 14,04 miliar lembar. Dari sini terlihat saham PPRO bisa lebih likuid dibandingkan dengan PTPP. Sebagai tambahan informasi, saham PPRO telah masuk dalam indeks LQ45 dan small cap Indeks MSCI Indonesia sehingga saham PPRO dinilai telah mempunyai kapitalisasi dan likuiditas yang baik di Indonesia.

Grafik : Estimasi Pertumbuhan Jumlah Saham Beredar PPRO (Miliar lembar)

Sumber : Bareksa.com

Bareksa menganalisis apabila stock split dengan rasio 1:4 terjadi maka jumlah saham beredar PPRO meningkat menjadi 56,2 miliar lembar saham. Namun, peningkatan kepemilikan tersebut akan diimbangi dengan penurunan harga saham PPRO itu sendiri.

Mengacu pada penutupan harga saham PPRO pada saat dilaksanakannya RUPSLB tanggal 27 Januari 2017 pada level Rp1.260 per lembar, maka setelah stock split harga saham akan disesuaikan secara otomatis di level Rp315 per lembar saham. Lalu, dalam RUPSLB tersebut, manajemen akan berencana melakukan right issue dengan target perolehan dana mencapai Rp1,5 triliun. Dengan asumsi harga saham Rp315 per lembar, manajemen diestimasi akan menerbitkan saham baru sebanyak-banyaknya 4,76 miliar lembar saham atau 8,46 persen dari total jumlah saham beredar setelah stock split. Hal tersebut membuat outstanding shares PPRO kembali meningkat menjadi 60,96 miliar lembar saham.

Grafik : Perbandingan Price Earning Ratio PTPP dan PPRO (Per 27 Januari 2017)

Sumber : Bareksa.com

Untuk menghitung seberapa mahal harga saham, Bareksa menggunakan rasio harga terhadap laba per saham (price to earning ratio/PER). PER tersebut dihitung dengan nilai laba per saham (earning per share/EPS) berdasarkan kuartal III 2016.

Berdasarkan hitungan tersebut, dapat dilihat bahwa harga PPRO lebih mahal 2,3 kali dibandingkan induknya. PER PPRO akan terus meningkat apabila diasumsikan harga saham tetap serta rencana stock split dan right issue terealisasi. Hal ini mengingat semakin tingginya jumlah saham yang beredar berpeluang membuat EPS menurun apabila tidak diikuti dengan meningkatnya laba bersih yang diatribusikan kepada pemilik entitas induk.

Sebagai tambahan informasi, grafik PER di atas menggambarkan kondisi apabila seseorang membeli saham PTPP di harga Rp3.450 dan hanya mengharapkan return dari EPS, diasumsikan akan membutuhkan waktu 29,48 tahun untuk kembali modal dengan mengakumulasi EPS tersebut tanpa menjual sahamnya. Sedangkan untuk saham PPRO dibutuhkan waktu 2,3 kali lebih lama, yakni sekitar 67,9 tahun. Oleh karena itu, mengapa PPRO dapat dikatakan lebih mahal 2,3 kali dari induknya. (hm)