Bareksa.com - Isu berkaitan dengan SARA (suku, agama, ras dan antar golongan) dan radikalisme akhir-akhir ini semakin mengganggu masyarakat dan memberi dampak terhadap perekonomian Indonesia. Hal ini perlu segera diatasi karena dapat berpengaruh negatif terhadap ekonomi nasional.
Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) A. Muhaimin Iskandar menilai penyebaran isu ini perlu segera diatasi karena tidak sesuai dengan semangat kebangsaan Indonesia. Menurutnya, isu semacam ini sudah berakibat pada terhambatnya pembangunan segala bidang yang sekarang digalakkan oleh pemerintah dan rakyat.
"Jangan biarkan silent majority kalah hanya dengan suara miring minoritas yang mengusung SARA dan radikalisme. Suara miring itu tidak menggambarkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)," ujarnya dalam pidato pembukaan Diskusi Panel SARA, Radikalisme, dan Prospek Ekonomi Indonesia 2017 di Jakarta Senin 23 Januari 2017.
Hanif Dhakiri, Menteri Tenaga Kerja Republik Indonesia, menghimbau agar hati-hati terhadap provokasi dan mengingatkan isu-isu ini agar tidak dijadikan kompor untuk memecah belah bangsa. Mengutip angka kemiskinan, ketimpangan, dan pengangguran yang turun serta membaik, Hanif mengatakan sebenarnya kondisi ekonomi Indonesia mengalami perbaikan. Akan tetapi, fakta dan data tersebut sering tertutup isu yang tidak jelas asal muasalnya seperti isu tentang tenaga asing yang masuk secara ilegal, dan lain-lain.
Sementara itu, Liky Sutikno, Chairman Indonesia Chamber of Commerce in China (INACHAM), mengatakan isu radikalisme menjadi sentimen yang negatif bagi investasi di Indonesia. Padahal, China memiliki potensi dana investasi yang besar, baik dari pemerintah dan badan usaha milik negara, sektor swasta, dan institusi keuangan. Bahkan, Indonesia menjadi negara top listed bagi investor China, dan di bawahnya ada Malaysia dan Vietnam untuk skala ASEAN.
Sofjan Wanandi, Koordinator Staf Ahli Wapres yang juga berlatarbelakang pengusaha, turut membenarkan kondisi tersebut. Menurutnya, sejumlah pengusaha Indonesia yang ingin berinvestasi masih dalam posisi menunggu karena enggan menerima risiko dari isu radikalisme yang merebak.
"Uang pengusaha Indonesia masih banyak di perbankan, belum bisa memberi kontribusi terhadap sektor riil," kata Sofjan yang juga menjadi narasumber dalam Diskusi Panel tersebut.
Sementara itu, secara spesifik Pak Bobby Hamzar Rafinus, Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Bidang Perekonomian mengatakan dampak dari radikalisme yang kini tersorot pada Indonesia membuat pasar keuangan berpeluang mendapatkan dampak.
Secara spesifik, dampak di pasar modal dan pasar keuangan seperti Credit Default Swap (CDS) dan keluarnya investasi asing di pasar modal. Bahkan, jumlah dana repatriasi dalam tahap kedua tax amnesty terbilang kecil dibandingkan nilai yang disebutkan dalam tahap pertama. Namun, sejauh ini Bobby mengatakan isu radikalisme belum memberikan dampak negatif pada perekonomian secara umum.