Bareksa.com – Harga minyak dunia kembali melonjak hingga mencapai US$52 per barel, seiring dengan kesepakatan Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) untuk memangkas produksi mereka. Lonjakan harga komoditas ini mendorong sentimen positif bagi emiten terkait minyak dan gas tercatat di Bursa Efek Indonesia, yakni PT Elnusa Tbk (ELSA) dan PT Medco Energi Tbk (MEDC).
Seperti diberitakan oleh Bloomberg, OPEC memutuskan untuk memangkas produksi minyaknya sebesar 1,2 juta barel per hari (bph) dan menetapkan pagu produksi minyak di 32,5 juta barel per hari. Pengurangan produksi ini berlaku mulai 1 Januari 2017 dan merupakan pemotongan produksi minyak pertama sejak 2008 setelah sebelumnya melewati negosiasi yang alot dalam 8 tahun terakhir. Pengurangan ini sedang dikoordinasikan dengan negara produsen non-OPEC, Rusia yang berjanji akan memangkas produksinya 300.000 barel per hari. Demikian hasil pertemuan OPEC di Wina, Rabu 30 November 2016.
Data Bareksa menunjukkan, Saham ELSA dan MEDC direspon positif oleh para pelaku pasar, dimana sempat menguat hingga 13,67 persen dan 10,71 persen pada sesi pertama perdagangan hari ini 1 Desember 2016. Peningkatan harga dua saham ini tidak terlepas dari sentimen harga Brent Oil yang menguat signifikan hingga menembus US$52 per barel.
Grafik: Harga Minyak Dunia Pasca Disepakatinya Pemangkasan Produksi
Sumber: Investing.com
Kedua saham merespon cepat terhadap kenaikan harga minyak dunia, tetapi benarkah kinerja keuangan ELSA dan MEDC berkorelasi erat dengan harga minyak dunia?
Berdasarkan laporan keuangan yang dirilis per kuartal III 2016, hanya MEDC yang justru mempunyai kaitan erat terhadap pergerakan minyak dunia. Hal tersebut dikarenakan adanya penjualan minyak dari sumber pendapatan yang dirilis MEDC.
Pie Chart: Breakdown Revenue MEDC
Sumber: Laporan Keuangan MEDC
Berbeda dengan MEDC, ELSA justru tidak mempunyai sumber pendapatan yang berhubungan dengan penjualan minyak dunia. Sumber pendapatan ELSA justru berasal dari kegiatan yang bersifat jasa migas yang hingga kuartal III 2016 masih fokus di bagian hulu migas.
Pie Chart: Breakdown Revenue ELSA
Sumber: Laporan Keuangan ELSA
Selain itu, dilihat juga dari sisi harga pokok penjualan (HPP/COGS), MEDC mencatat biaya yang berkaitan dengan harga minyak dunia mendominasi. Adanya biaya Produksi dan Lifting yang mendominasi di bagian HPP, membuat besar kecilnya cost perusahaan di setiap kuartal juga sangat bergantung terhadap fluktuasi harga minyak dunia, sehingga akan berdampak terhadap pertumbuhan laba kotor perusahaan. Kontribusi cost terbesar kedua yakni penyusutan dan diikuti biaya lainnya.
Pie Chart: Breakdown Cost Of Good Sold (COGS) MEDC
Sumber: Laporan Keuangan MEDC
Sementara itu, hal serupa tidak terlihat di laporan keuangan ELSA. Anak usaha dari PT Pertamina ini mencatat HPP terbesar datang dari gaji dan jasa subkontrak. Adanya alokasi anggaran untuk Jasa Subkontaktor semakin mempertegas bahwa lini bisnis ELSA ialah terkait Jasa dan dengan kata lain bukan menjual atau memproduksi minyak. Subkontraktor merupakan sebuah pihak yang ikut dalam pelaksana proyek di bawah kendali Kontraktor Utama. Subkontraktor bekerja dan mengikat kontrak dengan Kontraktor Utama.
Pie Chart: Breakdown Cost Of Good Sold (COGS) ELSA
Sumber: Laporan Keuangan ELSA
Tak heran jika pengeluaran operasional perusahaan untuk Subkontraktor berada di urutan kedua terbesar setelah gaji pegawai sebesar Rp 463 miliar atau 26 persen dari total HPP yang sebesar Rp1,76 triliun hingga kuartal III tahun ini. Maka dari itu, seharusnya perubahan harga minyak dunia tidak berkaitan langsung dengan kinerja pendapatan dan biaya ELSA. (hm)