Menilik Sejarah Biaya Interkoneksi Telekomunikasi di Indonesia

Bareksa • 14 Nov 2016

an image
Petugas memeriksa jaringan base transceiver station (BTS) milik Telkomsel di BTS Bangkalan, Madura, Jawa Timur, Selasa (5/5). Perawatan rutin tersebut dilakukan guna menjaga agar menara BTS bekerja optimal. ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Satu-satunya operator yang belum sepakat dengan biaya interkoneksi baru yang dikeluarkan pemerintah adalah Telkomsel.

Bareksa.com - Suatu pagi di sebuah gedung empat tingkat di bilangan Kebon Sirih, Jakarta. Pancaran sinar matahari menyelinap masuk ke salah satu ruang rapat melalui sekat jendela. Di meja panjang, sejumlah orang dengan setelan rapi duduk berdiskusi. Ada yang berbatik, ada juga yang mengenakan jas. Jumlahnya belasan orang. Raut wajah mereka begitu serius.

"Kalau tidak sepakat, silakan diperbaiki. Nanti kami evaluasi lagi," salah satu pria di sana menegaskan. Belakangan diketahui, dia adalah pejabat Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI).

Beberapa peserta rapat mulai berdiri, berpamitan. Tidak ada kesepakatan yang dicapai pada pagi itu. 

"Intinya, kami kasih kesempatan dulu. Ini masih ada waktu. Kita carikan jalan yang terbaik. Semua kemungkinan kami pelajari," Agung Harsoyo, anggota BRTI Bidang Teknologi menerangkan ke sejumlah peserta rapat saat meninggalkan ruangan.

Rapat yang dihelat akhir September lalu itu membahas batas atas tarif interkoneksi yang baru. Tidak semus peserta rapat--terdiri dari beberapa anggota BRTI dan eksekutif perusahaan operator--bersepakat. Ada satu pihak yang menolak: Telkomsel. Alasannya, ambang batas atas alias tarif maksimal untuk interkoneksi yang baru mereka nilai terlalu murah, sehingga tidak mampu menutup beban operasi jaringan mereka.

"Makanya, saya bilang begitu: kalau tidak sepakat, silakan ajukan DPI yang baru. Revisi angkanya. Kalau dari kami, ya angkanya segitu," Agung menuturkan.

Sejarah biaya interkoneksi

Awalnya, Indonesia menerapkan skema revenue sharing dalam penetapan biaya interkoneksi. Kala itu, Indonesia baru membangun industri telekomunikasi melalui PT Telkom sebagai penyelenggara dominan. Seiring berjalannya waktu, kualitas layanan telekomunikasi semakin dibutuhkan masyarakat.

Pemerintah ingin menciptakan lingkungan industri telekomunikasi yang sehat, agar banyak pihak mau berinvestasi di Indonesia sehingga bisa mempercepat pembangunan infrastruktur telekomunikasi.

Era kebijakan interkoneksi yang baru dimulai setelah pemerintah mengubah UU No. 3/1989 menjadi UU No. 36/1999 tentang Telekomunikasi. Tapi, pemberlakuannya baru dimulai September 2000 dengan mengubah skema berbasis revenue sharing menjadi berdasarkan cost.

Akan tetapi, kala itu pemerintah masih mengkaji metode perhitungan seperti apa yang akan digunakan dalam skema cost based ini.

Baru pada tahun 2005, pemerintah dan operator mulai sepakat melaksanakan aturan ini. Melalui Peraturan Menteri No. 8/200 biaya interkoneksi melalui skema cost based untuk pertama kali diberlakukan. Perubahan ini membuat biaya interkoneksi bisa naik maupun turun, tergantung cost recovery masing-masing operator.

Dengan skema yang baru, masing-masing operator telekomunikasi menyerahkan proposal mengenai biaya yang mereka keluarkan terkait penyelenggaraan telekomunikasi--yang dikenal dengan istilah Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI). Setelah DPI masuk, pemerintah akan menghitung dan mengevaluasinya berdasarkan parameter yang telah disepakati sebelumnya. Hasil evaluasi kemudian akan disampaikan kepada operator penyelenggara dominan. Jika mencapai kata sepakat, maka tarif itulah yang akan digunakan industri.

Perubahan dan perkembangan bisnis telekomunikasi yang begitu cepat membuat pemerintah dan operator beberapa kali melakukan penghitungan ulang biaya interkoneksi. Dalam sejarahnya, ada empat kali perubahan, yakni di tahun 2006, 2008, 2011, dan 2014. Data historikal menunjukkan adanya tren penurunan biaya interkoneksi, karena pengguna telekomunikasi semakin banyak dan biaya investasi semakin turun. (AD | dh)