BeritaArrow iconBerita Ekonomi TerkiniArrow iconArtikel

Kala Triliunan Rupiah Uang Seluler Disedot Negara Orang

Bareksa14 November 2016
Tags:
Kala Triliunan Rupiah Uang Seluler Disedot Negara Orang
Seorang petugas memperlihatkan pecahan dolar Amerika di gerai penukaran mata uang asing di Ayu Masagung, Jakarta. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A/aww/16.

Tiga perusahaan telekomunikasi besar di Indonesia tidak 100 persen dimiliki investor lokal.

Bareksa.com - Bisnis telekomunikasi seluler bisa sangat menggiurkan. Tak cuma ratusan miliar rupiah, belasan triliun rupiah berputar di jagat "halo-halo" ini.

Dirintis sejak 1984--di mana PT Telkom Indonesia bersama dengan PT Rajasa Hazanah Perkasa memprakarsai layanan komunikasi seluler dengan mengusung teknologi NMT-450 (yang menggunakan frekuensi 450 MHz)--penetrasi telekomunikasi seluler di Nusantara, perlahan tapi pasti, terus melesat.

Pada tahun 1994, PT Satelit Palapa Indonesia (Satelindo) muncul sebagai pelopor operator GSM pertama, disusul Telkomsel di tahun berikutnya, yang ditandai dengan ukuran ponsel seukuran pemukul kasti.

Promo Terbaru di Bareksa

Per hari ini, jumlah nomor pelanggan terus meroket, melampaui jumlah populasi penduduk di Tanah Air yang "cuma" 255 juta--mencapai 120 persen dari jumlah populasi atau kurang lebih 270 juta nomor seluler (menurut data ATSI, 2016).

Hampir semua lapisan masyarakat, mulai Sabang sampai Merauke, kini bisa mencicipi layanan telekomunikasi, yang tarifnya semakin hari semakin terjangkau. Telefoni, SMS, juga layanan data (Internet) semua komplit. Bahkan lumrah, satu orang mempunyai dua nomor seluler, bahkan lebih.

Maka, apabila dirumuskan dalam matematika sederhana, untung di bisnis ini sangat menggunung.

Jika merujuk pada ARPU (average revenue per user) pelanggan Telkomsel yang berada di kisaran Rp43 ribu, maka nilai total pendapatan seluler di Indonesia bisa mencapai kurang lebih Rp11,61 triliun per bulan.

Namun, sayang seribu sayang, tak semua untung yang menggunung itu dicicipi oleh bangsa Indonesia, tapi termasuk juga "disantap" oleh negara tetangga. Bagaimana bisa?

Ini terkait kepemilikan saham di banyak perusahaan telekomunikasi.

Telkomsel, yang kerap menggembar-gemborkan diri sebagai "operator Merah-Putih", nyatanya berbagi kepemilikan dengan pemodal asing.

Menurut laporan kinerja terakhirnya, anak usaha PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom) ini tak sepenuhnya dimiliki BUMN tersebut. Telkom menguasai 65 persen saham, namun 35 persen sisanya sampai artikel ini diunggah dimiliki Singapore Telecommunications Ltd. (Singtel). Artinya, jika Telkomsel berhasil mencetak laba bersih Rp22,4 triliun pada tahun 2015 lalu, maka setidaknya Rp7,84 triliun akan berpindah ke Singapura--ini kalau tidak dipangkas untuk belanja modal (capex) di tahun 2016.

Kabar terakhir, Telkomsel tengah menjajaki pinjaman minimal senilai Rp3 triliun, yang bakal digunakan untuk membiayai belanja modal sebesar Rp12,9 triliun, untuk melayani 152,6 juta pelanggannya.

Itu baru Telkomsel, yang mendominasi 46 persen pangsa pasar seluler. Belum lagi PT Indosat Tbk, operator lain yang juga berpelat merah dan berkecimpung di area ini sejak 1994.

Indosat Ooredoo, sesuai namanya, dimiliki oleh Ooredoo Asia Pte Ltd--yang sebelum 2013 dikenal dengan nama Qatar Telecom (Qtel)--dengan porsi saham 65 persen. Setelah Ooredoo, baru menyusul saham pemerintah RI (14,3 persen), Skagen AS (5,42 persen), dan publik (15,29 persen). Ya, pemegang saham mayoritas Indosat bukan pemerintah atau pemodal Indonesia, melainkan perusahaan asal Qatar.

Jika Indosat meraup untung--meski sayangnya tidak, untuk saat ini--maka 65 persen dari total laba akan hijrah ke negeri seberang. Sepanjang tahun 2015 silam, Indosat meraih pendapatan usaha Rp26,7 triliun, atau naik 11,1 persen dibandingkan 2014 yang Rp24,08 triliun. Pasokan pendapatan berasal dari layanan seluler, yakni sebesar Rp21,89 triliun, naik 12,4 persen dibandingkan 2014.

Namun, Indosat membukukan kerugian Rp1,31 triliun di tahun 2015. Menurut laporan keuangan perusahaan 2015 yang dilansir di situs perusahaan, angka tersebut turun Rp2 triliun jika dibandingkan angka 2014.

Biang keladi negatifnya kinerja Indosat adalah kerugian kurs sebesar Rp1,3 triliun, yang lebih besar dibandingkan 2014 yang "cuma" Rp243,2 miliar.

Setali tiga uang, XL Axiata pun tak lepas dari bayang-bayang asing. Sejak 2009, perusahaan yang sebelumnya dikenal dengan nama PT Excelcomindo Pratama itu resmi berganti nama menjadi PT XL Axiata Tbk, setelah 66,4 persen sahamnya berpindah ke induk usaha yang baru: Axiata Group Berhad.

Grup usaha telekomunikasi seluler ternama di Asia Tenggara itu bukan hanya menguasai saham kepemilikan XL di Indonesia, tetapi juga Celcom Axiata di Malaysia (100 persen), Dialog Axiata di Sri Lanka (84,97 persen), Robi Axiata di Bangladesh (92 persen), dan Smart Axiata di Kamboja (100 persen).

Seperti Indosat, pada tahun lalu XL Axiata juga merugi, sebesar Rp25,33 miliar. Angka ini turun drastis dari angka rugi bersih mereka pada 2014 yang Rp803,71 miliar, didorong laba usaha yang meningkat. Laba usaha pada 2015 dilaporkan meroket 97,9 persen menjadi Rp3,14 triliun dari 2014.

Peningkatan itu didorong oleh keuntungan dari penjualan dan sewa-balik menara pada tahun lalu yang mencapai Rp2,03 triliun. Angka ini melambung 651 persen dari tahun sebelumnya.

Kendati masih rugi "tipis" pada tahun lalu, mulai tahun ini Axiata Grup akan mengakhiri tren rugi bersih dan diramalkan akan mulai memboyong sebagian dividen ke Negeri Jiran. Baru jalan separuh tahun, XL Axiata sudah berhasil membukukan kinerja keuangan positif dengan mencetak laba bersih pada paruh pertama tahun 2016 ini.

Berdasarkan laporan keuangan semester I 2016, perusahaan berhasil mencetak laba bersih Rp224,74 miliar, berbalik dari rugi bersih Rp850,88 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Total, pendapatan usaha mencapai Rp10,85 triliun.

Usut punya usut, perusahaan tertolong oleh keuntungan selisih kurs senilai Rp61,69 miliar dan dari penjualan dan sewa balik menara sebesar Rp625,27 miliar, melonjak 175 persen dari Rp227,65 miliar.

Jika tren positif ini terus berlanjut, maka hampir pasti untuk pertama kalinya XL membuat sang induk di Malaysia sumringah.

Begitu kurang lebih peta telekomunikasi di Indonesia. Ada yang untung, ada yang buntung, dan semua investor asing berada di balik mereka. Mulai dari Singapura, Malaysia, hingga Qatar. (AD | dh)

Pilihan Investasi di Bareksa

Klik produk untuk lihat lebih detail.

Produk EksklusifHarga/Unit1 Bulan6 BulanYTD1 Tahun3 Tahun5 Tahun

Trimegah Dana Tetap Syariah Kelas A

1.382,65

Up0,56%
Up4,26%
Up7,54%
Up8,69%
Up19,21%
-

Trimegah Dana Obligasi Nusantara

1.093,4

Up0,43%
Up4,43%
Up6,99%
Up7,44%
Up2,54%
-

STAR Stable Amanah Sukuk

autodebet

1.079,4

Up0,60%
Up3,98%
Up7,06%
Up7,74%
--

Capital Fixed Income Fund

1.844,45

Up0,53%
Up3,89%
Up6,66%
Up7,38%
Up17,02%
Up40,39%

Insight Renewable Energy Fund

2.270,42

Up0,81%
Up3,88%
Up6,54%
Up7,20%
Up20,19%
Up35,64%

Video Pilihan

Lihat Semua

Artikel Lainnya

Lihat Semua