Kisruh Biaya Interkoneksi: Kenapa Telkomsel Menolak Turunkan Tarif?

Bareksa • 14 Nov 2016

an image
Petugas memeriksa jaringan base transceiver station (BTS) milik Telkomsel di menara BTS Gayungan, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (19/6). (ANTARA FOTO/Zabur Karuru

Yang telah menurunkan tarif adalah Indosat, XL Axiata, Smartfren, dan Tri. Adapun Telkomsel tetap kukuh di Rp285.

Bareksa.com - Interkoneksi. Ini bukan istilah asing di jagat telekomunikasi. Tanpa ada interkoneksi, tak akan ada panggilan nomor antar operator. 

Belakangan isu seputar interkoneksi tiba-tiba mencuat. Padahal, interkoneksi sudah diatur sejak lama, termaktub di Peraturan Menteri Kominfo No. 8/2006.

Lalu, apa yang jadi soal sekarang?

Mari kita pahami dulu apa interkoneksi ini.

Ketika berbicara tentang interkoneksi, kita bicara tentang biayanya. Dalam Permenkominfo tersebut, biaya interkoneksi diartikan biaya yang dibebankan akibat adanya panggilan antar jaringan telekomunikasi yang berbeda (antar operator). Beban biaya interkoneksi muncul apabila terjadi panggilan dari nomor pelanggan operator A ke nomor pelanggan operator B. Misalnya, dari nomor Telkomsel ke nomor XL atau dari nomor Tri ke nomor IM3.

Besaran biaya interkoneksi antar operator itu disepakati secara business-to-business (B2B). Jadi, karena B2B, besarannya akan variatif alias berbeda-beda. Kesepakatan biaya interkoneksi antara XL dan Indosat, belum tentu sama dengan XL dan Tri. Pasti ada tawar-menawar manfaat di situ.

"Prinsipnya, saling menguntungkan. Ini kan demi pelanggan. Karena mustahil satu nomor Indosat hanya boleh memanggil ke nomor Indosat doang, harus bisa ke nomor operator lain juga, dong," kata Fajar Aji Suryawan, Group Head Government Relations, pada Bareksa. "Itu hak pelanggan (memanggil ke nomor operator lain), kami operator wajib membuka jalur interkoneksi seluas-luasnya, karena sudah diatur di Permen No. 8."

Sementara itu, pemerintah melalui BRTI berperan dalam menentukan ambang batas maksimal biaya interkoneksi. Sehingga, para operator tak diizinkan menetapkan tarif atau biaya interkoneksi melampaui ambang batas yang sudah ditentukan.Sejak berbulan-bulan lalu, BRTI mengumpulkan berbagai data trafik dan pelanggan dari seluruh operator, mengolahnya, dan melalui serangkaian analisis akhirnya menetapkan berapa ambang batas maksimal tarif interkoneksi yang dianggap wajar.

Setiap 2-3 tahun sekali, biaya interkoneksi ini dievaluasi. Trennya selalu turun, seiring jumlah atau trafik panggilan seluler yang terus naik.

Diskusi demi diskusi, rapat hampir setiap hari, dengan mengutak-atik kalkulasi, maka muncullah 18 tarif baru interkoneksi yang diajukan BRTI untuk selanjutnya diberlakukan oleh seluruh operator.

Tabel: Usulan Biaya Interkoneksi untuk Penyelenggara Jaringan Telekomunikasi, 2016


Sumber: Kementerian Kominfo

"Tapi, yang dipermasalahkan dan ramai itu hanya yang Rp204 (panggilan interkoneksi lokal)," ucap Noor Iza, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Biro Humas Kementerian Kominfo. "Telkom-Telkomsel tidak setuju. Menurut mereka, angka itu kemurahan. Mereka menetapkannya di angka Rp285. Kalau sebegitu (Rp204), mereka tidak sepakat."

Sementara Telkomsel menolak, seluruh operator selain "Si Merah" kini telah mengumumkan tarif interkoneksi yang baru, sesuai kebijakan penurunan biaya interkoneksi 26 persen untuk 18 skenario panggilan telepon tersebut.

Langkah yang ditempuh itu merujuk pada Surat Edaran No. 1153/M.KOMINFO/PI.0204/08/2016 yang ditandatangani oleh Plt. Dirjen Penyelenggaraan Pos dan Informatika (PPI), Geryantika Kurnia, dan dirilis pada 2 Agustus 2016 lalu.

Misal, Indosat telah memberlakukan tarif interkoneksi baru melalui kesepakatan B2B dengan operator lain yang sudah menyerahkan Dokumen Penawaran Interkoneksi (DPI) kepada Kementerian Kominfo. Yang telah menyerahkan DPI adalah Indosat, XL Axiata, Smartfren, dan Tri.

Artinya, sejak 1 September, pelanggan Indosat telah menggunakan tarif interkoneksi baru (Rp204), turun 26 persen dari tarif semula Rp250.

Tak mau kalah, XL Axiata pun menabuh genderang perang tarif kala mengumumkan penggunaan teknologi 3G di frekuensi 900 MHz bagi pelanggan di Luar Jawa. Anak usaha Axiata Group itu merilis paket "XTRA Bicara," yaitu paket menelepon hanya untuk pelanggan Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi, dengan manfaat berupa menelepon ke sesama pengguna XL sepuasnya, menelepon ke operator lain dan akses data di jaringan 2G/3G/4G.

Artinya, selain Telkomsel, seluruh operator kini saling memperbarui tarif interkoneksi, sehingga panggilan di antara mereka sudah dikenakan tarif baru yang lebih murah. Sementara itu, panggilan interkoneksi ke nomor Telkomsel, akan tetap diberlakukan tarif interkoneksi yang lama.

Menunggu DPI baru

Tatkala menentukan biaya interkoneksi, pemerintah memakai beberapa parameter untuk merumuskan ambang batas maksimal. Sebelum menetapkannya, pemerintah dalam hal ini BRTI meminta operator yang paling dominan, Telkomsel, untuk menyampaikan DPI yang baru.

Menurut Permen Kominfo No. 8, DPI diartikan sebagai dokumen yang memuat aspek teknis, operasional, ekonomis dari penyediaan layanan interkoneksi yang ditawarkan oleh penyelenggara jaringan telekomunikasi pada penyelenggara lainnya. Biasanya, yang menjadi acuan adalah DPI dari operator yang paling dominan. Alasannya, operator dominan dianggap mempunyai perhitungan paling efisien, atau dalam kata lain paling menguntungkan, dibandingkan operator-operator lain.

Namun, pada evaluasi kali ini ada yang berbeda. Tahun ini, BRTI juga mengumpulkan DPI dari empat operator lain, Indosat, XL, Tri, dan Smartfren. Alasannya, supaya perhitungan beban interkoneksi yang baru lebih mewakili industri, tak hanya didasarkan pada operator yang paling dominan.

Nah, bermodalkan data-data trafik dan pelanggan serta DPI itulah, BRTI merasa kalkulasi interkoneksi kali ini sepatutnya bisa lebih wajar, sehingga muncullah angka Rp204 itu.

Telkomsel naik pitam, karena selama ini mereka menetapkan tarif interkoneksi di angka Rp285.

"Biaya interkoneksi harus berbasis biaya yang merupakan cost recovery masing-masing operator ketika menggelar jaringan. Perhitungan berbasis biaya (cost based) dengan model asimetris (tidak sama untuk masing-masing operator) menurut kami adalah yang terbaik dan paling adil," kata Adita Irawati, Vice President Corporate Communications Telkomsel, kepada Bareksa.

Menurutnya, apabila cost recovery semua operator dianggap sama (simetris), hal ini bisa tidak memacu operator untuk membangun jaringan lebih luas lagi karena dengan mudah bisa memanfaatkan jaringan operator lain. 

Angka Rp204 itu, menurut Adita berada jauh di bawah cost yang telah dikeluarkan perusahaannya untuk membangun jaringan. "Model simetris tidak adil untuk pelanggan operator yang memiliki cost recovery lebih tinggi (Telkomsel), karena ketika pelanggan tersebut menelpon ke pelanggan operator lain, biaya yang dibayar jadi lebih mahal dari yang seharusnya." 

Tak sependapat dengan Telkomsel, Noor Iza dari Kominfo mengatakan, "Mereka (Telkom/Telkomsel) kan berinvestasi lebih besar, misalnya di wilayah Indonesia Timur. Tentu biaya interkoneksinya minta lebih besar. Lalu mereka menganggap Indosat dan XL itu bisa murah, karena investasinya (di Jakarta) hanya seperlima atau sepersepuluh kapasitasnya. Tapi, aturan mainnya tidak begitu. Interkoneksi itu kan per satu lokasi (lokal), jadi beban investasi di Indonesia Timur tidak boleh dibebankan pada pelanggan di Jakarta atau wilayah lain."

"Misal, sekala investasi di Jakarta itu 1, lalu di Indonesia Timur 1,5. Maka ada selisih 0,5 yang merupakan faktor kemahalan. Jadi tiap-tiap wilayah, termasuk Indonesia Timur, punya skema biaya sendiri-sendiri. Nggak boleh carry over dari tempat lain," dia menambahkan.

Telkomsel sampai artikel ini diunggah, belum berpatokan pada tarif interkoneksi yang baru (Rp204), dan juga belum melayangkan revisi DPI pada BRTI. "Tidak apa-apa. Kami punya waktu 30 hari, 10 hari pertama kan sudah lewat, baru ini masuk 10 hari kedua," ujar Agung Harsoyo, anggota Komite BRTI. "Mereka (Telkomsel) masih punya waktu. Sehingga pada 10 hari terakhir bisa kami evaluasi lagi. Kami di BRTI bertugas menjaga keseimbangan. Di sisi pelanggan, tarif harus affordable, di sisi industri juga harus sustainable. Itu prinsip dasarnya."

Agung mengaku lembaganya hanya bisa menanti lemparan bola dari Telkomsel. "Kami ini kan cuma wasit." (AD | dh)