Biaya Interkoneksi Telepon Turun, Masyarakat Untung. Kenapa?

Bareksa • 14 Nov 2016

an image
Seseorang sedang melakukan aktifitas dengan mobilephonenya di dekat tower telekomunikasi

Di Indonesia, tingkat perpindahan pelanggan dari satu operator ke operator lain sangatlah tinggi.

Bareksa.com - Terkait biaya interkoneksi, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara menegaskan biaya perlu diturunkan agar industri telekomunikasi menjadi sehat dan efisien. Tingginya biaya interkoneksi saat ini membuat masyarakat cenderung sering mengganti SIM card atau memiliki telepon seluler lebih dari satu.

Saat ini operator telekomunikasi di Indonesia cenderung untuk lebih banyak melakukan promosi untuk komunikasi on-net (satu operator) dibandingkan dengan komunikasi off-net (lintas operator) akibat tingginya biaya interkoneksi yang harus dibayar masing-masing operator.

Perilaku ini membuat industri telekomunikasi jadi tidak efisien. Modal yang seharusnya bisa digunakan operator telekomunikasi untuk membangun infrastruktur, jadi hangus untuk memproduksi jutaan SIM card setiap tahun serta membayar biaya interkoneksi yang begitu tinggi.

Dibanding negara lain, angka churn rate Indonesia termasuk yang tertinggi di Asia Pasifik. Tak heran jika penetrasi pengguna kartu pra bayar juga tinggi. Rasio churn rate menunjukkan tingkat perpindahan pelanggan dari satu operator ke operator lain, yang secara sederhana menggambarkan berapa banyak pengguna memiliki lebih dari satu SIM card.

Data Kementerian Kominfo menunjukkan saat ini terdaftar sebanyak 350 juta SIM card. Angka ini jauh melebihi jumlah penduduk Indonesia yang "hanya" sekitar 240 juta. Sudah begitu, kartu SIM card yang hangus setiap tahun mencapai angka 10 juta. Biaya pembuatannya sekitar Rp20 ribu per kartu. Artinya, setiap tahun operator menghanguskan sekitar Rp200 miliar.

Padahal biaya operasional untuk pembuatan kartu tersebut bisa dialihkan ke biaya investasi jaringan yang manfaatnya lebih dirasakan secara riil bagi pengguna telekomunikasi seperti cakupan sinyal yang lebih luas.

Grafik: Matriks Angka Churn Rate dan Penetrasi Kartu Pra-bayar di Asia Pasifik, 2011


Sumber: SOA Holding Analysis

Tingginya churn rate ini juga menyebabkan perbedaan ARPU (rata-rata pendapatan per unit) telekomunikasi yang tinggi antara pasca-bayar dan pra-bayar. Lembaga riset global, Frost & Sullivan menghitung di Indonesia per akhir 2015,  ARPU pasca-bayar dapat mencapai US$12. Angka ini enam kali lipat lebih tinggi dari ARPU kartu pra-bayar yang hanya berkisar US$2,3. Padahal, seharusnya pelanggan yang royal yaitu pelanggan pasca-bayar, menerima harga rata-rata yang lebih rendah.

Layanan pasca-bayar jadi dianggap lebih mahal dan menyebabkan konsumen semakin cenderung memilih kartu pra-bayar. Padahal bagi konsumen, kartu pasca-bayar lebih memberikan kemudahan seperti penggunaan layanan komunikasi yang dapat dilakukan kapanpun. Berbeda dengan kartu pra-bayar yang kita harus membayar terlebih dahulu sebelum bisa digunakan.

Grafik: ARPU Kartu Paska-bayar & Pra-bayar, 2010-16


Sumber: Frost & Sullivan

 

(AD | dh)