Bareksa.com - Dua tahun yang lalu, tepatnya 20 Oktober 2014, Indonesia menyambut pelantikan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Presiden Republik Indonesia yang ketujuh ini memiliki sejumlah gebrakan untuk masa jabatan 2014-2019 yang sudah mulai terlihat hasilnya, meski tidak terlepas dari berbagai opini kontra.
Salah satu kebijakan yang membuat sejumlah kalangan meradang adalah pencabutan subsidi bahan bakar minyak (BBM), yang selama pemerintahan sebelumnya menghabiskan Rp229 triliun atau 67,5 persen porsi subsidi dalam anggaran belanja negara 2014. Terhitung sejak 2015, dana subsidi untuk BBM, yang kebanyakan dinikmati kalangan masyarakat menengah, dialihkan kepada program-program lain yang lebih berguna seperti pembangunan infrastruktur.
Hal tersebut secara konstan dilanjutkan pada rencana tahun selanjutnya sehingga subsidi bidang energi untuk tahun 2016 tercatat sebagai yang terkecil selama 7 tahun terakhir menjadi Rp121 triliun. Sebagai gantinya, Jokowi mengalihkan sebagian dana subsidi tersebut untuk mendorong anggaran infrastruktur menjadi Rp313,5 triliun. Anggaran infrastruktur ini meningkat delapan persen dibanding alokasi infrastruktur dalam APBNP-2015.
Pengalihan dana tersebut diharapkan bisa mendorong pembangunan infrastruktur, yang menjadi salah satu program unggulan pemerintahan Jokowi-JK. Dengan fokus di sektor ini, emiten-emiten konstruksi, khususnya yang dikendalikan oleh negara, bisa menikmati tambahan proyek yang signifikan. Apalagi, kebijakan-kebijakan lainnya mendukung percepatan pembangunan infrastruktur ini.
Sepanjang tahun 2015, pendapatan badan usaha milik negara (BUMN) yang bergerak di bidang konstruksi konstruksi naik cukup signifikan dibandingkan tahun 2014, terutama yang berasal dari proyek-proyek infrastruktur pemerintah. PT Adhi Karya (Persero) Tbk (ADHI) menjadi emiten yang paling menikmati kenaikan proyek dari pemerintah.
Proyek pemerintah yang dikerjakan ADHI pada 2014 hanya 24 persen dari total kontrak 2014. Sedangkan pada tahun 2015, proyek pemerintah menyumbang 49,1 persen dari total proyek ADHI selama satu tahun.
Secara nominal pun jumlahnya tumbuh tinggi. Peningkatannya hampir tiga kali lipat dari angka Rp2,16 triliun di 2014 ke Rp6,82 triliun di 2015.
Tabel Pendapatan BUMN Konstruksi Dari Proyek Pemerintah
Sumber: Perusahaan, diolah Bareksa.com
Kondisi serupa juga dirasakan oleh saudara-saudaranya. PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA) dan PT Waskita Karya (Persero) Tbk (WSKT) mengalami pertumbuhan nilai pendapatan dari proyek BUMN, meski porsinya terhadap pendapatan secara umum mengecil.
Nilai proyek pemerintah yang dikerjakan oleh Waskita Karya pada 2015 sebesar Rp9,86 triliun, naik 24,97 persen dibandingkan perolehan tahun sebelumnya Rp7,89 triliun. Namun, porsinya terhadap total pendapatan secara umum turun menjadi 42,7 persen dibandingkan 70 persen.
Sementara itu, Wijaya Karya merasakan pertumbuhan 30 persen untuk nilai proyek BUMN yang dikerjakan oleh perseroan menjadi Rp12,61 triliun pada 2015, dibandingkan Rp9,69 triliun pada tahun sebelumnya. Meskipun demikian, porsi proyek BUMN mengecil menjadi 49,8 persen dibandingkan 55 persen sebelumnya.
Sekretaris Perusahaan Wijaya Karya Suradi, kepada Bareksa.com menjelaskan bahwa memang porsi kontrak dari pemerintah terhadap keseluruhan proyek turun, tetapi secara nominal mengalami kenaikan. Artinya, secara umum nilai kontrak dari proyek non-pemerintah tumbuh lebih besar.
Hingga kuartal ketiga 2016, menurutnya total kontrak dari pemerintah telah mencapai Rp15,2 triliun atau 40 persen dari total proyek perseroan sebesar Rp38 triliun.
“Persentasenya memang tidak besar tahun ini karena kontrak paling besar berasal dari kontrak high speed train dan juga proyek jalan tol kita,” ujarnya.
Dia menjelaskan bahwa seiring dengan realisasi proyek-proyek pemerintah, proyek yang dipegang oleh swasta pun meningkat sehingga hal ini mendorong penerimaan kontrak secara umum bagi perseroan. (hm)