Bareksa.com - Bursa Efek Indonesia (BEI) tengah melakukan penilaian kembali atas saham-saham yang mengalami penghentian perdagangan (suspensi) dalam jangka waktu panjang. Di antara saham-saham tersebut, ada beberapa yang berpotensi terkena penghapusan paksa (forced delisting) oleh Bursa.
Keputusan BEI itu pun tentu saja dengan beberapa pertimbangan. Salah satunya mengenai keberlangsungan usaha (going concern).
Direktur Penilaian Perusahaan BEI Samsul Hidayat menyampaikan, ada 28 perusahaan yang sahamnya terkena suspensi (termasuk suspensi karena laporan keuangan) sedang dimintai pendapat atas rencana keberlangsungan usahanya. "Kami juga lihat soal tuntutan hukum, yang tidak ada pendapatan, maupun audit akuntan," tutur Samsul belum lama ini.
Atas dasar pernyataan Samsul, Bareksa menulusuri saham-saham yang dimaksud. Dari sekitar 28 saham, ada tiga saham yang perdagangannya terkena suspensi lebih dari dua tahun. Saham-saham tersebut antara lain PT Bank JTrust Indonesia Tbk (BCIC), PT Leo Investment Tbk (ITTG), dan PT Berlian Laju Tanker Tbk (BLTA).
1. BCIC
Saham BCIC disuspensi sejak 21 November 2008 saat bernama Bank Century sebelum akhirnya kena suspensi kembali setelah bernama Bank Mutiara pada 27 November 2013.
Berdiri pada 30 Mei 1989 dengan nama PT Bank Century Intervest Corporation dan beroperasi secara komersial pada 1990. Seiring berjalannya waktu, pada 3 Juni 1997 Bank Century menerima pernyataan efektif dari Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam) untuk melepas saham perdana ke BEI sebanyak 70 juta saham dengan harga penawaran Rp900 per saham.
Setelah itu, bank ini beberapa kali mengalami perubahan nama, termasuk Bank CIC International Tbk, Bank Century pada 2004, Bank Mutiara pada 2009, dan per 24 Juni 2015 menjadi Bank JTrust Indonesia. Perubahan utama berlangsung saat menjadi Bank Century. Saat itu, Bank CIC International menjadi bank yang menerima penggabungan dengan Bank Danpac Tbk dan Bank Pikko Tbk.
Namun, seiring kondisi ekonomi Indonesia yang memburuk, kegiatan bisnis Bank Century terpuruk. Hingga pada 6 November 2008, Bank Century mengantongi status sebagai Bank Dalam Pengawasan Khusus yang disematkan Bank Indonesia, sebelum akhirnya diserahkan ke Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) pada 21 November 2008 saat berstatus sebagai bank gagal plus dana talangan Rp6,7 triliun.
Sejak saat itu, Bank Century bertransformasi menjadi Bank Mutiara dan masuk dalam program divestasi LPS setelah beberapa kali mendapat suntikan modal dengan nilai total Rp8,1 triliun. Program itu pun berakhir pada 12 September 2014 seiring dengan terpilihnya J Trust Co.,Ltd sebagai pemegang saham baru. LPS melepas Bank Mutiara dengan nilai Rp4,41 triliun kepada J Trust, dan mengubah nama Bank Mutiara menjadi Bank J Trust Indonesia.
Melihat ke belakang, kinerja Bank J Trust saat ini terbilang sudah membaik ketimbang saat pertama kali dialihkan ke LPS. Pada akhir 2008, nilai kerugian Bank Century mencapai Rp7,28 triliun. Sementara, pada akhir 2015 kerugiannya mulai susut menjadi Rp676,01 miliar. Dan per Juni tahun ini, kerugian Bank J Trust tersisa Rp107,59 miliar.
Bank J Trust kini sedang menghadapi kasus-kasus hukum. Sampai dengan tanggal 30 Juni 2016, proses hukum terhadap pihak-pihak antara lain seperti investor yang membeli produk investasi milik PT Antaboga Delta Sekuritas Indonesia, nasabah, debitur, direksi, pihak ketiga dan manajemen lama dan pemegang saham semasa sebelum diambilalih oleh LPS, sebagian masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, sebagian telah memasuki tahap persidangan dan ada pula yang sudah mendapat putusan tetap dan/atau banding.
Perseroan juga akan membukukan kerugian atas tuntutan hukum tersebut pada saat hasil keputusan final atas status hukum tersebut diperoleh dan akan dicatat pada laporan laba rugi dan penghasilan komprehensif lainpada periode dimana hasil putusan final tersebut diterbitkan.
2. BLTA
Berdiri dengan nama PT Bhaita Laju Tanker pada 1981, perusahaan ini beroperasi dengan dua kapal tanker minyak dan berganti nama menjadi PT Berlian Laju Tanker pada 1988. Dua tahun berselang, tepatnya pada 22 Januari 1990, perseroan mencatatkan sahamnya di BEI dengan harga penawaran Rp8.500 per saham.
Tak cuma itu saja, saham dengan kode BLTA juga diperdagangkan di Bursa Efek Singapura (SGX) pada 30 Oktober 2006. Sayang, seperti banyak perusahaan di Indonesia, krisis 2008 menjadi titik hitam bagi Berlian Tanker. Bahkan, ini berlangsung hingga 2012 sampai akhirnya perseroan menyatakan debt standstill dan mendapat proses Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dari salah satu krediturnya pada 14 Juni 2012.
Bahkan, BEI dan SGX sudah melakukan suspensi saham BLTA sejak 25 Januari 2012. Saat suspensi ditetapkan, harga saham BLTA saat itu berada pada level Rp196 per saham dan SGD 0,03 di SGX.
Sejak akhir 2010, kinerja keuangan Berlian Tanker mengalami penurunan. Dari sisi pendapatan, nilainya turun dari US$656,85 juta per akhir 2010 menjadi US$452,79 juta per akhir 2012. Pada periode itu, perseroan juga mengalami kerugian dari US$154,4 juta pada akhir 2010 menjadi US$719,39 juta per akhir 2012.
Kini, meski pendapatannya semakin turun dengan angka US$8,54 juta pada akhir Juni 2016, bottom line Berlian Tanker juga membaik. Pada periode ini, kerugian perseroan menjadi US$5,24 juta. Membaiknya kinerja keuangan juga ditandai dengan restrukturisasi utang melalui konversi menjadi saham. Bahkan, manajemen Berlian Tanker pun berharap saham perusahaannya bisa dibuka lagi perdagangannya.
3. ITTG
Berbeda dengan BCIC dan BLTA, saham ITTG yang telah disuspensi sejak 1 Mei 2013 sudah masuk dalam kriteria forced delisting hingga September 2016. Berdasarkan laporan tahunannya, manajemen Leo Investment menerangkan sedang mengupayakan usaha baru dengan melakukan kerjasama operasi bidang teknologi pengolahan bullion dan perdagangan serta pemasaran emas dengan PT Tanri Madjid Energi.
Berdiri pada 25 Maret 1999, Leo Investments melepas saham perdana ke publik sebanyak 70 juta saham pada 5 November 2001 dengan harga penawaran Rp150 per saham.
Suspensi saham ITTG pada 1 Mei 2013 didasarkan atas tidak adanya pendapatan dalam laporan keuangan per 31 Maret 2013. Bahkan, meski menutup tahun 2013 dengan pendapatan Rp9,11 miliar, suspensi perdagangan saham masih melekat pada ITTG.
Bahkan, pada akhir 2015, pendapatan Leo Investments meningkat jadi Rp21,29 miliar dengan laba bersih Rp7,48 miliar. Sayang, per Juni tahun ini, pendapatan perseroan kembali turun menjadi Rp99 juta dan menderita kerugian Rp3,11 miliar.
Risiko Investasi
Terkait saham-saham yang telah lama disuspensi, BEI menegaskan tidak memiliki kebijakan apapun bagi para pemegang saham, khususnya pemegang saham publik. Samsul menegaskan, investor yang masih memiliki saham-saham tersebut harus menerima risiko dari investasi.
"Tidak ada kebijakan. Itu risiko investasi," kata Samsul.
Informasi saja, terakhir kali BEI melakukan penghapusan saham pada tahun lalu. Itu terjadi terhadap tiga saham, yakni PT Unitex Tbk (UNTX), PT Bank Ekonomi Raharja Tbk (BAEK), dan PT Davomas Abadi Tbk (DAVO).
Sementara itu, pada 2014 tidak ada emiten mengalami delisting dan pada 2013 hanya ada satu emiten yang dihapus dari bursa, yakni PT Amstelco Indonesia Tbk (INCF). Samsul mengatakan, Amstelco berencana melakukan pencatatan kembali (relisting) setelah mengubah bisnisnya ke bidang perindustrian dan perdagangan karet dan berubah nama menjadi PT Indo Komoditi Korpora.