Bareksa.com - Sejumlah perusahaan minyak bumi, gas dan tambang asing telah melepas aset investasi di Indonesia. Kondisi harga komoditas yang merosot serta ongkos investasi yang mahal ditenggarai menjadi penyebab utama hengkangnya beberapa perusahaan tersebut.
Baru-baru ini Newmont Mining Corporation dan Sumitomo Corporation telah menjual sahamnya di PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) kepada PT Amman Mineral Internasional (AMI) yang kemudian dibeli oleh PT Medco Energi Internasional Tbk. Presiden Direktur Medco Energi, Hilmi Panigoro mengatakan AMI menguasai 82,2 persen saham NNT karena juga memiliki saham milik PT Multi Daerah Bersaing, dan PT Indonesia Masbaga.
Medco harus mengeluarkan dana hingga Rp34 triliun untuk akuisisi itu yang diperoleh dari pinjaman tiga bank BUMN yakni PT Bank Mandiri Tbk, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk, dan PT Bank Negara Indonesia Tbk.
Tak hanya newmont, Vallar Plc juga telah melepas investasi dari Indonesia. Perusahaan milik investor Inggris, Nathaniel Rothschild ini sempat menanamkan investasi pada saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI), perusahaan tambang Grup Bakrie.
BHP Billiton juga telah melepas sahamnya di PT Indo Met Coal (IMC) ke PT Adaro Energy Tbk (ADRO). Tahun 2010 sebelumnya Adaro telah membeli 25 persen saham IMC dari BHP Billiton, sehingga jika di total maka Adaro telah melakukan pembayaran sekitar Rp5,9 triliun kepada BHP Biliton.
Mantan Dirjen Mineral Batubara dan Panas Bumi (Minerba), Simon Sembiring, mengungkapkan ada beberapa hal yang memang dipertimbangkan asing untuk hengkang dari Indonesia.
"Kalau di perminyakan yang saya tahu itu PBB di laut itu mahal," ujarnya.
Masalah kedua, menurut Simon, adalah permasalahan pembebasan lahan dan juga perizinan.Menurutnya ongkos pembebasan lahan di daerah-daerah sangat mahal dan sulit dilakukan.
Simon mengatakan jika satu perusahaan harus mengurus perizinan hingga tiga bulan lamana setelah mendapatkan wilayah dari SKK Migas. Setelah mengurus perizinan mereka juga dihadapkan pada PBB yang mahal.
Belum lagi ada izin lokasi dari daerah yang membuat perusahaan asing semakin enggan untuk menanamkan modalnya di Indonesia. Hal-hal yang seperti ini menurutnya dipastikan membuat perusahaan asing tersebut menilai prospek yang ada di Indonesia kurang baik dan berpindah ketempat lain.
"Mereka kan sebagai perusahaan tentu melihat tempat yang paling menguntungkan untuk menanamkan uangnya," ujarnya.
Simon juga menilai wajar jika perusahaan-perusahaan asing tersebut menjual saham mereka kepada pengusaha lokal. Pasalnya saat ini harga komoditas dan juga harga minyak saat belakangan ini mengalami penurunan.
"Bagi mereka mungkin lebih bagus ada yang membeli karena harga komoditas dan juga minyak sedang mengalami penurunan. Ini merupakan perdagangan biasa," katanya.
Pergerakan Harga Minyak WTI Dalam 1 Tahun
Sumber: Bloomberg
"Daripada mereka keep yang kasih penghasilan kecil, lebih baik mereka jual saja apalagi kalau harga jualnya bagus," tambahnya.
Direktur Eksekutif Reformainer Institute, Pri Agung Rakhmanto, mengatakan dengan situasi seperti ini memang wajar bagi perusahaan energi menjual sebagian atau seluruh saham mereka di Indonesia.
"Saat ini kan kondisi harga komoditas baik tambang ataupun minyak itu kan rendah, dan recoverynya juga masih rendah," katanya.
Dengan kondisi yang seperti ini membuat perusahaan harus memilih portofolio mereka yang terbaik dan berada di tempat yang lebih kompetitif. Jika ada usaha mereka yang berada di luar Indonesia dan lebih kompetitif dipastikan perusahaan akan memilih melepas usaha di Indonesia.
Pri mengatakan sejauh ini tidak ada yang salah dengan regulasi di Indonesia. Permasalahan pengusaha asing yang hengkang menurutnya adalah masalah bisnis semata.
Lalu kenapa perusahaan lokal melakukan akusisi usaha yang tidak kompetitif tersebut?
Pri mengatakan diantara perusahaan internasional dan domestik pasti mempunyai pertimbangan yang berbeda dalam melihat bisnis. Medco yang merupakan perusahaan domestik pasti akan menjadikan bisnis yang berada di Indonesia menjadi prioritas.
"Kalau asing keluar dari Indonesia itu hanya murni bisnis dan aksi korporasi yang disesuaikan dengan upaya mereka merespon rendahnya harga komoditas," ujarnya. (np)